Kawal Dana Pokir Anggota Dewan, LSM Formaki Buka Pos Pengaduan Masyarakat Di Seluruh Kabupaten/Kota Di Aceh 

  • Bagikan

SaranNews|Banda Aceh – Dalam rangka melaksanakan fungsi kontrol publik khususnya di Aceh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) yang berkedudukan dan berkantor pusat di ibukota Provinsi Aceh (Banda Aceh) mulai tahun 2025 ini telah menyusun program dan rencana kerja sesuai visi dan misi lembaga yang bergerak dibidang Anti Korupsi sebagai bentuk tanggung jawab moral sebagai warga negara dan mendukung program pemerintah dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Lembaga FORMAKI membangun kerjasama dengan institusi penegak hukum seperti KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI, selain itu juga membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga masyarakat lainnya yang memiliki kesamaan persepsi terhadap issue pemberantasan korupsi tentunya.

Secara umum FORMAKI melakukan pengawasan terhadap pengelolaan anggaran negara oleh pemerintah baik itu yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten/kota, dan juga termasuk pengelolaan Dana Desa pastinya.

Begitupun, dalam hal pengawasan pengelolaan uang negara memang  sudah ada lembaga dan institusi negara yang melakukannya dimana dalam melaksanakan tugas dan fungsinya juga dibiayai oleh uang negara dan kita tetap mempercayakan sepenuhnya kepada institusi tersebut. Namun kehadiran kami (LSM FORMAKI) adalah juga merupakan hak dan sekaligus merupakan kewajiban ikut serta dalam menjaga dan membela negara dari rongrongan para koruptor yang sangat berbahaya saat ini.

Diketahui,  bahwa lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga yang memiliki fungsi pengawasan yang representatif selain fungsi legislasi dan budgeting yang diamanatkan rakyat kepada DPR tersebut. Lalu, kenapa FORMAKI mengambil issue fokusnya melakukan Pengawasan Dana Pokir (pokok pikiran) anggota Dewan, jawabannya adalah bahwa sejak adanya program dana pokir anggota dewan selama ini fungsi pengawasan dewan dinilai menjadi lemah.

Dan itu bukan tanpa alasan, diantaranya saat ini anggota dewan juga sudah ikut mengelola anggaran walau secara tidak langsung tetapi melalui program usulan Pokir dewan itu sendiri,dan sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap anggota dewan punya “proyek aspirasi’ yang dalam pelaksanaannya juga merupakan orang-orang atau rekanan yang direkomendasikan oleh anggota dewan itu sendiri.

Begitupun, telah menjadi rahasia umum bahwa setiap proyek Pokir dewan tersebut ada komitmen dan transaksional fee yang dibebankan kepada rekanan (kontraktor) pelaksana yang nilainya juga bervariasi, sehingga dari fenomena praktik transaksional tersebut dikawatirkan akan berpengaruh pada kualitas pekerjaan proyek dilapangan. 

Belum lagi jika dilihat dari aspek keadilan misalnya, banyak usulan program Pokir anggota dewan yang berbentuk bantuan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat itu ada semacam rekayasa dan pemaksaan sebagai objek penerima manfaat dari bantuan tersebut.

Bahkan, sering kali kita lihat bahwa kelompok penerima manfaat itu tidak berdasarkan dan mengacu kepada database yang sudah ada di instansi pemerintah yang membidangi, tetapi dilahirkan data-data baru, kelompok-kelompok baru bentukan anggota dewan itu sendiri melalui timses maupun keluarganya. Sehingga menimbulkan kejanggalan, ketimpangan dan ketidak adilan dimasyarakat selama ini.

Persoalan ini biasanya terjadi pada Pokir bantuan kepada kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok usaha mikro dan bantuan Rumah Layak Huni (RLH) atau yang lebih dikenal dengan batuan rumah dhuafa, yang sering terjadi salah sasaran dan tidak memenuhi skala prioritas serta penerima yang tidak memenuhi kategori sesuai juklak dan juknis pemberian bantuan RLH oleh kementerian terkait.

Jika anggota DPR juga punya proyek, lalu bagaimana pengawasan bisa maksimal? “Jeruk makan jeruk” lah jadinya kalaupun dilakukan pansus misalnya, maka pentingnya ada pengawasan berlapis, masyarakat juga ikut berperan aktif melakukan pengawalan dan pengawasan secara langsung, jika ada kejanggalan atau penyimpangan masyarakat dapat memberikan informasi ke FORMAKI untuk dilakukan Investigasi dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.

Kepada anggota DPR kita berharap dan sarankan agar usulan Pokir haruslah sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diinput setelah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

Kami juga menghimbau kepada kepala daerah dan organisasi pemerintah daerah (OPD) harus memiliki keberanian untuk menolak pengajuan pokir yang tidak sesuai dengan RKPD dan RPJMD, apalagi kalau OPD cuma teken-teken saja, bisa-bisa nanti masuk penjara.(*)

Banda Aceh, 24 Januari 2025

LSM FORMAKI

Ali Zamzami 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *