SaranNews | Banda Aceh – Taman Putroe Phang, ikon sejarah yang menjadi simbol cinta abadi Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya Putroe Phang dari Pahang, kini dalam kondisi mengenaskan. Terletak di jantung ibu kota Banda Aceh yang juga Ibu kota Provinsi Aceh, taman ini seharusnya menjadi ruang publik yang asri dan sacral, Namun, Pantauan investigative tim Sarannews, selasa (17/6), menemukan kenyataan sebaliknya ; kumuh, jorok, dan seolah terlupakan.
Di banyak titik, sampah berserakan. Fasilitas umum seperti bangku, lampu taman, dan pagar pembatas tampak rusak. Toilet umum atau MCK tak hanya jorok dan bau, tapi juga tak layak pakai, dengan lampu rusak dan sanitasi memprihatinkan. Air mancur dibiarkan mati, dan sungai kecil yang dulunya menjadi elemen estetika taman kini berubah menjadi selokan terbuka, penuh limbah dan plastik.
“Dulu tempat ini ramai, banyak keluarga bawa anak sore-sore. Sekarang kotor dan bau. Sayang sekali,” ujar salah seorang warga setempat. Di lokasi, hanya tampak segelintir warga memancing di kolam yang sudah dangkal. “Ikan tinggal sedikit, airnya juga kotor,” keluh salah satu pemancing.
Padahal, Taman Putroe Phang adalah bagian dari kompleks Gunongan, pusaka monumental Kesultanan Aceh abad ke-17, yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) sebagai bentuk kecintaan kepada Putri Pahang. Nama asli taman ini adalah Taman Ghairah, tercatat dalam kitab Bustanus Salatin, dan dikenal sebagai tempat peristirahatan Putri Pahang, yang kelak dikenal sebagai Putroe Phang. Di dalamnya terdapat Pinto Khop, pintu kecil nan indah tempat sang permaisuri beristirahat usai mandi bunga.
Tak Masuk Anggaran, Tak Masuk Pikiran
Penelusuran SaranNews terhadap dokumen Rencana Umum Pengadaan (RUP) 2025, baik skema penyedia maupun swakelola, serta Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda Aceh, dengan total anggaran mencapai Rp77 miliar lebih, tidak ditemukan satu pun program atau kegiatan yang menyebut Taman Putroe Phang secara eksplisit sebagai subjek perawatan, lokasi program, atau objek prioritas.
Yang justru ditemukan adalah anggaran pemeliharaan taman lain seperti di Jl. Mr. Mohd Hasan, Jl. Teuku Umar, dan Jl. Tgk. Imum Lueng Bata, masing-masing Rp186 juta. Lebih mengejutkan, anggaran terbesar justru tersedot untuk lampu jalan (Rp3,5 miliar lebih), bahan bakar (Rp11,5 miliar), dan suku cadang (Rp1,7 miliar) yang sama sekali tidak berkaitan langsung dengan perawatan situs sejarah.
Ironisnya, dalam belanja swakelola senilai Rp23,5 miliar, nama Taman Putroe Phang sama sekali tidak tercantum, baik sebagai kegiatan, lokasi, maupun objek manfaat. Ini mempertegas bahwa taman sejarah ini tidak hanya tidak dirawat, tapi juga telah “dihapus” secara administratif dari prioritas pembangunan kota.
Redaksi Menilai
Ketika warisan sejarah sebesar Taman Putroe Phang dibiarkan terbengkalai, ini bukan semata soal kebersihan (estetika kota), melainkan menyangkut cara pemerintah menghormati sejarah dan jati diri Aceh. Pemerintah Kota Banda Aceh patut disorot keras: bukan karena kekurangan anggaran, tetapi karena ketiadaan visi dan kepedulian.
Jika situs bersejarah ini tak masuk dalam dokumen anggaran resmi, itu adalah cerminan dari lemahnya kesadaran birokrasi terhadap ruang publik yang bernilai sejarah. Dalam situasi seperti ini, publik berhak mempertanyakan: Untuk siapa sebenarnya kebijakan anggaran kota ini disusun?, Pemerintah kota seharusnya malu jika situs sekelas Taman Putroe Phang dibiarkan rusak dan tidak masuk rencana anggaran.
Catatan Redaksi:
Ketika taman sejarah terabaikan dalam dokumen resmi pemerintah, maka jelas ada krisis kepedulian dan ketidakpekaan birokrasi terhadap identitas budaya. Banda Aceh tidak kekurangan dana, yang kurang adalah keberpihakan pada ruang publik bersejarah.