Oleh: Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI)
Peluncuran Program Satu Data Aceh pada 29 April 2025 lalu di Anjong Mon Mata semestinya menjadi tonggak penting dalam tata kelola pemerintahan berbasis data yang akurat, terintegrasi, dan berkelanjutan.
Dihadiri oleh pejabat tinggi Aceh, perwakilan pemerintah pusat, hingga mitra internasional seperti Pemerintah Australia dan Program SKALA, program ini digadang sebagai pilar utama untuk mendukung perencanaan pembangunan, pengentasan kemiskinan, dan perbaikan layanan dasar.
Namun, di balik seremonial mewah dan jargon digitalisasi data, publik nyaris tidak mendapatkan akses yang memadai terhadap perkembangan implementasi program ini.
Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) mencermati bahwa hingga pertengahan Mei 2025, tidak tersedia satu pun dashboard publik, laporan resmi, atau kanal informasi terbuka yang menampilkan progres aktual program Satu Data Aceh di situs resmi Pemerintah Aceh. Padahal transparansi adalah jiwa dari inisiatif ini.
Dilema antara Regulasi dan Realisasi
Program ini dibangun di atas fondasi regulatif yang kuat. Dimulai dari Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, kemudian dijabarkan dalam konteks Aceh melalui Peraturan Gubernur Aceh Nomor 39 Tahun 2023.
Bahkan, Pemerintah Aceh mengeluarkan Surat Edaran Gubernur No. 903/2227/2025 sebagai panduan penyesuaian arah kebijakan pembangunan dan penganggaran daerah melalui perubahan RKPA dan APBA.
Namun, apa artinya semua regulasi tersebut jika tidak diikuti oleh keterbukaan informasi kepada publik?. Di saat masyarakat sipil, akademisi, maupun media ingin memastikan bahwa arah pembangunan benar-benar berbasis data, justru informasi tersebut sulit atau bahkan tidak dapat diakses.
Kegagalan Membangun Kepercayaan Publik
Data bukan sekadar angka atau tabel. Dalam konteks pemerintahan, data adalah instrumen kepercayaan. Ketika publik tidak bisa mengakses atau memverifikasi pelaksanaan program ini, maka semua narasi kemajuan hanya akan menjadi ilusi seremonial belaka.
Bagaimana mungkin publik dapat menilai apakah SKPA sudah memiliki admin data yang dilatih? Apakah Forum Satu Data di tingkat kabupaten/kota sudah dibentuk dan berjalan? Apakah aplikasi pendukung seperti SIGAP sudah digunakan secara luas? Tanpa akses data, semua klaim tidak bisa diuji.
Transparansi adalah Kewajiban, Bukan Pilihan
Program Satu Data Aceh tidak boleh terjebak menjadi proyek teknologi tanpa transparansi. Jika Pemerintah Aceh benar-benar berkomitmen pada reformasi tata kelola, maka langkah pertama yang harus segera diambil adalah membuka informasi pelaksanaan program ini kepada publik secara berkala dan sistematis.
Setidaknya, masyarakat berhak mengetahui Alapa saja data sektoral yang telah dihimpun. SKPA mana yang telah aktif berkontribusi.Bagaimana progres pelatihan admin data..Bagaimana roadmap integrasi data ke dalam perencanaan pembangunan.
Seruan untuk Gubernur dan Walidata Aceh
FORMAKI mendesak Gubernur Aceh, Kepala Bappeda, serta Kepala Dinas Kominsa Aceh untuk, mempublikasikan secara resmi progres implementasi program “Satu Data Aceh” dalam bentuk dashboard keterbukaan atau laporan rutin.
Membuka akses publik terhadap SE Gubernur dan dokumen teknis terkait penyesuaian arah kebijakan APBA dan RKPA Tahun 2025.
Mengaktifkan kanal partisipasi masyarakat sipil, termasuk LSM, media, dan akademisi, dalam mengawal operasionalisasi program.
Jika keterbukaan tidak dihadirkan dalam proyek sebesar Satu Data Aceh, maka program ini berisiko menjadi sekadar formalitas digitalisasi. Di tengah tantangan kemiskinan, ketimpangan layanan dasar, dan rendahnya partisipasi publik, keterbukaan informasi bukan sekadar kebutuhan, tetapi keniscayaan.
Transparansi adalah bukti kematangan tata kelola. Mari kita tuntut bukan sekadar narasi, tetapi praktik nyata dari Pemerintah Aceh dalam mewujudkan pemerintahan yang berbasis data dan kepercayaan.[]