Yayasan Jadi Mesin Bisnis, Dapur BGN Diseret ke Konglomerasi Investor

  • Bagikan

Jakarta | sarannews – Program Dapur Badan Gizi Nasional (BGN) yang digadang-gadang sebagai terobosan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat ketahanan gizi rakyat, kini disorot tajam. Investigasi Transparansi Tender Indonesia (TTI) menemukan, alih-alih memperkuat pelayanan publik, program ini justru membuka jalan bagi konglomerasi Yayasan yang beroperasi bak perusahaan.

Ketua TTI, Nasruddin Bahar, menilai terdapat kesalahan mendasar dalam regulasi dan implementasi program. “Mengapa uang negara melalui APBN justru lebih banyak mengalir ke konglomerasi investor melalui Yayasan-Yayasan Dapur Mandiri? Kontrak lima tahun itu nilainya jauh lebih besar dibandingkan pembangunan fisik yang bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui lahan pinjam pakai,” ungkapnya dalam wawancara investigasi bersama media, Senin (9/9).

Skema 90 Persen Bisnis Yayasan

Secara hukum, Yayasan bersifat nirlaba sesuai UU No. 16 Tahun 2001 jo. UU No. 28 Tahun 2004. Namun dalam praktiknya, proyek Dapur BGN justru dijalankan 90 persen dengan skema bisnis Yayasan.

Polanya sederhana: modal awal pembangunan ditukar dengan nilai kontrak pembayaran per porsi dikalikan jumlah penerima manfaat. Dengan skema ini, APBN yang seharusnya digunakan untuk membangun dapur fisik justru dialihkan ke kontrak jangka panjang.

“Pemerintah daerah sebenarnya sudah menyediakan lahan dengan skema pinjam pakai, tetapi hingga kini tidak ada realisasi pembangunan dapur BGN yang dibiayai APBN lewat tender terbuka. Yang justru berjalan adalah kontrak Yayasan yang penuh nuansa bisnis,” jelas Nasruddin.

Gratifikasi Terselubung di Balik Porsi

TTI juga mengungkap adanya celah gratifikasi dalam pengelolaan biaya per porsi. Kontribusi seperti biaya sewa Rp2.000 per porsi dilebur ke dalam total biaya Rp15.000. “Ini pola yang menguntungkan pengurus Yayasan dan para pemodal. Uang rakyat yang semestinya dialokasikan untuk gizi justru mengalir sebagai kompensasi bisnis,” tegasnya.

Lebih jauh, banyak pemodal menanamkan saham di berbagai Yayasan sebagai bentuk investasi. Padahal, UU Yayasan secara tegas melarang praktik pembagian keuntungan. Fakta ini menandai terjadinya penyimpangan regulasi.

Indikasi Korupsi APBN

Menurut TTI, penyimpangan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan berpotensi menjadi korupsi berjamaah.

“APBN yang seharusnya untuk pembangunan fisik melalui tender terbuka malah dialihkan ke kontrak Yayasan. Ini membuka ruang mark-up biaya, persekongkolan, dan tentu saja melanggar prinsip transparansi,” ungkap Nasruddin.

Ia menambahkan, kegagalan menyerap anggaran pembangunan fisik menunjukkan lemahnya pengendalian pemerintah pusat terhadap regulasi pelaksanaan program. “Di sinilah letak kesalahan regulasi program kerja Presiden Prabowo. Landasan hukum tidak tegas membatasi peran Yayasan sehingga investor bisa masuk dan memanfaatkan celah,” katanya.

Penerima Manfaat Hanya Legitimasi

Nasruddin menyebut masyarakat penerima manfaat hanya dijadikan “tameng legitimasi”. “Mereka ditampilkan seolah-olah mendapat keuntungan, padahal uang besar justru mengalir ke konglomerasi Yayasan. Program yang semestinya memperkuat ketahanan gizi dan ekonomi rakyat, berubah menjadi ladang bisnis,” kritiknya.

Evaluasi Regulasi Program Kerja BGN

Menurut TTI, inti persoalan ada pada desain regulasi yang lemah. Pemerintah membuka ruang terlalu lebar bagi Yayasan untuk menjadi mitra utama, tanpa memperkuat mekanisme tender terbuka yang transparan.

“Akibatnya, Yayasan yang seharusnya bersifat sosial berubah fungsi menjadi instrumen investasi. Regulasi program kerja Presiden Prabowo gagal mengantisipasi praktik penyalahgunaan ini,” tegas Nasruddin.

TTI mendesak agar pemerintah segera melakukan audit menyeluruh terhadap skema kemitraan Yayasan dalam Dapur BGN, serta mengembalikan jalur pembangunan ke mekanisme APBN berbasis tender terbuka, transparan, dan akuntabel.

Program Dapur BGN yang digadang sebagai ikon kerja Prabowo justru menyingkap masalah serius: regulasi longgar, gratifikasi terselubung, dan konglomerasi Yayasan. Jika tidak segera diperbaiki, program yang seharusnya untuk rakyat akan berakhir sebagai mesin bisnis investor dengan legitimasi sosial semata.[red]

Penulis: Mersal WandiEditor: redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *