Banda Aceh|SaranNews.Net – Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) menyatakan keprihatinan mendalam atas maraknya perambahan hutan dan kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Simpang II, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.
Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan penelusuran media, ditemukan indikasi kuat adanya pembiaran sistemik yang melibatkan institusi pengawasan lingkungan hidup dan kehutanan di tingkat kabupaten maupun provinsi.
Dugaan ini diperkuat dengan minimnya tindakan pencegahan maupun penindakan selama aktivitas ilegal berlangsung.Fakta-fakta yang kami temukan antara lain. Kelalaian Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Selatan dalam mendeteksi dan menindaklanjuti tanda-tanda awal kerusakan lingkungan.
“Kegagalan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, melalui UPTD KPH VI Subulussalam, dalam menjalankan fungsi pengawasan dan patroli hutan secara efektif,” kata Koordinator Formaki Alizamzami dalam rilis yang diterima Redaksi SaranNews.Net, Minggu 27 April 2025.
“Diduga adanya keterlibatan oknum pejabat UPTD KPH VI dalam pembiaran aktivitas ilegal, termasuk dugaan kebocoran informasi patroli dan transaksi perlindungan terhadap pelaku perambahan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Alizamzami menilai bahwa kasus ini mencerminkan gagalnya tata kelola sumber daya alam dan berpotensi mengarah kepada pelanggaran hukum pidana terkait perlindungan hutan dan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan linkungan hidup.
“Harus dilakukan Investigasi Independen terhadap seluruh unsur terkait, termasuk Dinas LH Kabupaten, DLHK Aceh, UPTD KPH VI, dan oknum pejabat yang diduga terlibat” sebut Alizamzami.
“Pemberhentian sementara pejabat yang terindikasi lalai atau terlibat dalam pembiaran atau pelindungan aktivitas ilegal dan audit tata kelola dan efektivitas pengawasan hutan di wilayah kerja UPTD KPH VI Subulussalam” ujar Alizamzami.
Alizamzami menambahkan, restorasi kawasan hutan yang rusak serta keterlibatan masyarakat dalam upaya pemantauan berbasis komunitas (community-based forest monitoring) harus dilakukan.Begitupun, keterbukaan informasi publik terkait hasil pengawasan, patroli, dan tindak lanjut kasus ini.
“Apabila kasus ini tidak ditangani secara serius dan transparan, maka tidak hanya hutan Aceh yang akan musnah, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi negara dalam menjaga kelestarian lingkungan akan ikut runtuh,” ujar Alizamzami.
“FORMAKI menegaskan, “Pengkhianatan terhadap perlindungan hutan adalah pengkhianatan terhadap masa depan generasi!”
Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, media massa, dan lembaga penegak hukum untuk bersama-sama mengawal kasus ini hingga tuntas,” tutup Alizamzami.[*]