Oleh: Formaki, Lembaga Anti Korupsi
Kabar bahwa Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Banda Aceh telah mengembalikan uang kelebihan pembayaran ke kas daerah, menyusul temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), mungkin terdengar seperti sebuah akhir yang melegakan. Di permukaan, ini adalah citra kepatuhan dan tanggung jawab. Namun, bagi publik yang kritis, tindakan ini bukanlah sebuah titik, melainkan sebuah koma yang menuntut kelanjutan cerita. Menganggap masalah selesai hanya karena uang telah kembali adalah sebuah kesesatan berpikir yang berbahaya.
Tindakan mengembalikan uang negara senilai puluhan juta rupiah adalah sebuah kewajiban mutlak, bukan sebuah prestasi yang patut diapresiasi berlebihan. Ini adalah langkah administratif paling mendasar untuk memulihkan kerugian negara. Fokus kita yang sesungguhnya harus diarahkan pada pertanyaan yang lebih fundamental dan mengganggu: mengapa kelebihan pembayaran itu bisa terjadi pada awalnya?
Temuan BPK tidak terjadi pada satu, melainkan pada dua paket pekerjaan konstruksi yang berbeda. Fakta ini adalah sinyal bahaya yang menunjukkan adanya potensi kelemahan sistemik dalam mekanisme pengawasan dan pengendalian proyek di lingkungan Disdikbud Banda Aceh. Ini bukan lagi soal “kesalahan ketik” atau “kekeliruan administrasi minor”. Ini adalah tentang kegagalan fungsi pengawasan yang paling esensial.
Setiap pembayaran kepada kontraktor seharusnya didahului oleh proses verifikasi kemajuan fisik yang ketat oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tim teknis. Terjadinya pembayaran yang melebihi volume pekerjaan yang terealisasi adalah bukti nyata bahwa benteng pertahanan ini telah jebol. Siapa yang bertanggung jawab atas jebolnya benteng ini? Menyalahkan kontraktor semata adalah tindakan menyederhanakan masalah. Justru, sorotan utama harus diarahkan pada pihak internal dinas yang memiliki mandat dan wewenang untuk mengendalikan kontrak.
Di sinilah kita harus waspada terhadap jebakan narasi “yang penting sudah lunas”. Narasi ini secara tidak langsung memberikan impunitas atau pengampunan terhadap kelalaian atau bahkan potensi kesengajaan yang terjadi. Ketika penyelesaian masalah hanya berhenti pada pengembalian uang, maka tidak ada efek jera bagi para pihak yang seharusnya bertanggung jawab memastikan proyek berjalan sesuai aturan. Siklus yang sama, pengawasan lemah, terjadi penyimpangan, ditemukan auditor, lalu uang dikembalikan, akan terus berulang menjadi sebuah rutinitas yang dianggap normal.
Publik berhak tahu lebih dari sekadar “uang sudah disetor”. Inspektorat Kota Banda Aceh memiliki tugas berat untuk melakukan investigasi lanjutan. Perlu ditelusuri apakah ini murni kelalaian akibat inkompetensi, ataukah ada unsur kesengajaan dan kolusi untuk menguntungkan pihak tertentu. Jika ditemukan bukti adanya niat jahat (mens rea), maka kasus ini tidak bisa lagi dipandang sebagai pelanggaran administratif, melainkan harus dibawa ke ranah hukum pidana korupsi.
Untuk itu, alih-alih merayakan pengembalian uang, kita harus menuntut langkah-langkah konkret berikutnya. Pertama, transparansi penuh dari Pemerintah Kota Banda Aceh mengenai hasil evaluasi internal terhadap para pejabat yang terlibat dalam proyek tersebut. Kedua, sanksi yang tegas, baik administratif maupun kepegawaian, bagi mereka yang terbukti lalai dalam menjalankan tugasnya. Ketiga, perbaikan total terhadap Prosedur Operasional Standar (SOP) pengawasan dan pembayaran proyek untuk memastikan setiap rupiah uang rakyat dibelanjakan dengan penuh integritas.
Pada akhirnya, pertaruhan kita bukanlah sekadar angka rupiah yang berhasil kembali ke kas daerah. Pertaruhannya adalah kepercayaan publik terhadap pemerintah, masa depan kualitas infrastruktur pendidikan, dan penegakan budaya akuntabilitas yang sejati. Jika tidak, kita hanya akan terus menambal sulam lubang yang sama, sementara benang kusut tata kelola yang buruk semakin sulit untuk diurai.(*)