Sindikat Pungli di Madrasah Negeri: Apakah Kanwil Kemenag Aceh Sekadar Lalai atau Ikut Menikmati?

  • Bagikan

Oleh: [Alizamzami / FORMAKI]

Di tengah krisis keadilan sosial dan semangat reformasi birokrasi, publik dikejutkan dengan kisah pilu seorang anak petani cabai dari Gampong Rukoh, Banda Aceh, yang gagal melanjutkan sekolah ke Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) karena tak mampu membayar “uang masuk” yang nilainya jutaan rupiah.

Tragisnya, ini terjadi bukan di sekolah swasta elit, tapi di lembaga pendidikan negeri yang dibiayai oleh APBN, dan lebih tragis lagi, praktik semacam ini bukan hal baru, melainkan sudah berlangsung bertahun-tahun di bawah hidung Kanwil Kementerian Agama Aceh.

Lalu pertanyaannya, di mana fungsi pembinaan dan pengawasan Kanwil Kemenag Aceh selama ini? Apakah selama ini hanya tutup mata? Atau justru ikut bermain dalam sistem upeti yang dibangun atas nama “sumbangan operasional siswa .

***

Pungutan uang masuk sebesar Rp 3 juta hingga Rp 6,5 juta pada MIN dan MTsN, yang dilakukan secara masif dan merata setiap tahun, bukanlah kebetulan. Ini adalah indikasi kuat adanya sistem pungutan yang dilembagakan, yang tidak hanya melibatkan pihak madrasah semata, tapi kemungkinan juga menjalar ke level struktural di atasnya.

Dalam sistem birokrasi, tidak mungkin sekolah-sekolah negeri di bawah Kemenag menerapkan skema pungutan tetap tanpa diketahui, atau bahkan “diizinkan secara diam-diam”, oleh pejabat di Kanwil. 

Pembiaran bertahun-tahun atas praktik ini adalah bentuk kelalaian yang disengaja, dan jika benar ditemukan adanya aliran dana ke oknum Kanwil, maka ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah korupsi berjamaah.

***

Sebagai perpanjangan tangan Kementerian Agama RI di daerah, Kanwil Kemenag memiliki kewenangan penuh dalam pembinaan, pengawasan, hingga evaluasi terhadap seluruh satuan kerja di bawahnya, termasuk madrasah negeri.

Maka pertanyaan berikutnya menjadi sangat serius, apakah Kanwil Kemenag Aceh pernah secara terbuka melarang praktik pungutan tersebut secara tertulis kepada seluruh madrasah negeri?

Apakah ada laporan publik tahunan tentang penggunaan dana pungutan dari PPDBM oleh madrasah yang diawasi? Apakah pejabat Kanwil melakukan inspeksi atau audit internal secara aktif terhadap pengelolaan dana dari masyarakat di sekolah-sekolah binaannya?

***

Jika semua jawaban ini adalah “tidak”, maka publik punya alasan kuat untuk menduga bahwa oknum di dalam Kanwil Kemenag Aceh bukan sekadar lalai, tapi mungkin juga terlibat atau menikmati aliran dana tersebut.

Jika satu-dua sekolah memungut biaya tanpa dasar, itu bisa dianggap pelanggaran satuan kerja. Tapi jika 11 MIN dan hampir seluruh MTsN di Banda Aceh melakukan pungutan yang seragam, sistemik, dan berlangsung bertahun-tahun, maka ini adalah struktur pungli, bukan sekadar insiden.

Dan struktur seperti ini pasti ada  “pemelihara”, pelindung, atau bahkan “penagih” di level atas. Bukan tidak mungkin ada oknum di level Kanwil, bahkan mungkin di tingkat kabupaten/kota yang ikut menikmati “jatah koordinasi” dari setiap rupiah yang dipungut dari orang tua murid.

***

Jika dugaan ini terbukti, maka bukan hanya kepala madrasah yang harus bertanggung jawab, melainkan seluruh mata rantai pungli ini, dari panitia PPDB, kepala madrasah, sampai pejabat struktural di Kemenag, harus diadili.

Pasal 12 huruf e UU Tipikor sudah sangat jelas menyebutkan,  setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa masyarakat membayar di luar ketentuan dengan menyalahgunakan jabatan, bisa dipidana berat.

Dan bila ini terbukti sebagai kejahatan kolektif berjamaah, maka tidak cukup dengan pembinaan dan sanksi administratif.Harus ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum, termasuk KPK dan Saber Pungli.

***

Kami tidak sedang menuding secara sembrono. Namun dalam sistem yang tertutup dan minim pengawasan publik seperti birokrasi pendidikan agama, kecurigaan adalah titik awal dari keadilan.

Kepada Kanwil Kemenag Aceh, jangan hanya berjanji menyelesaikan kasus satu anak miskin. Jawab dengan bukti dan tindakan nyata, audit total semua pungutan di madrasah negeri, buka hasilnya ke publik, dan pecat atau laporkan oknum yang bermain.

Sebab jika uang masuk madrasah ternyata adalah ladang upeti tahunan, maka pendidikan di Aceh sedang dipimpin oleh pelaku pungli, bukan oleh pendidik.[]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *