Dalam sistem demokrasi perwakilan, reses adalah salah satu momen sakral bagi wakil rakyat untuk kembali ke tengah konstituen, mendengar keluhan, menampung harapan, dan merumuskan agenda perjuangan politik berbasis realitas lapangan. Namun, pelaksanaan Reses II DPR Aceh Tahun 2025 tampaknya tidak mampu menjawab semangat itu.
Hampir semua pemberitaan yang muncul di media lokal maupun regional bersifat seremoni dan normatif. Laporan tentang kegiatan reses anggota dewan sekadar memuat narasi silaturahmi, diskusi ringan, serta pernyataan politis yang cenderung umum. Nyaris tidak ditemukan catatan tentang aspirasi kongkret masyarakat, seperti tuntutan pembangunan, penyelesaian konflik agraria, ketidakadilan ganti rugi pembebasan lahan, atau pemulihan hak-hak dasar warga.
Padahal, dalam praktik idealnya, kegiatan reses bukan hanya “turun ke daerah” untuk formalitas, melainkan agenda strategis yang berdampak langsung terhadap perencanaan kebijakan dan penganggaran. Minimnya informasi substansi dari kegiatan reses ini justru memunculkan sejumlah pertanyaan krusial:
🔸 Apakah kegiatan reses benar-benar dilakukan sesuai mandatnya?
🔸 Mengapa suara masyarakat tidak tertangkap dalam pemberitaan media?
🔸 Apakah ini disengaja, atau memang reses hanya formalitas tanpa ruang dialog yang jujur?
Situasi ini bukan sekadar soal kelemahan pelaporan jurnalistik, tapi juga menyentuh akar persoalan keterbukaan informasi publik, pengawasan pelaksanaan fungsi dewan, dan tanggung jawab moral anggota legislatif.
Jika masyarakat tidak bisa mengetahui aspirasi apa saja yang telah disampaikan, maka fungsi kontrol publik terhadap wakil rakyat menjadi lumpuh. Lebih parah lagi, jika media hanya memproduksi berita yang mendaur ulang siaran pers formal atau narasi tunggal dari anggota dewan tanpa verifikasi di lapangan, maka demokrasi kita sedang mengalami stagnasi representasi.
Kita tidak ingin reses hanya menjadi laporan administratif untuk mencairkan dana, tanpa jejak manfaat di tengah rakyat. Kita juga tidak ingin media kehilangan perannya sebagai penjaga nurani publik.
Untuk itu, kami mendesak:
- DPRA agar mewajibkan publikasi laporan hasil reses yang memuat data dan aspirasi real masyarakat per dapil.
- Fraksi-fraksi politik di DPRA diminta aktif mengevaluasi kadernya dalam pelaksanaan reses, bukan sekadar menerima laporan kegiatan.
- Media massa perlu lebih tajam mengulas substansi kegiatan dewan, bukan hanya seremoni dan pernyataan satu arah.
Reses tanpa aspirasi ibarat parlemen tanpa rakyat. Kita punya hak untuk menagihnya.