Banda Aceh | SaranNews (22/7) – Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang aktif dalam pengawasan anggaran publik “FORMAKI” dalam siaran pers yang diterima redaksi, menyampaikan keprihatinan mendalam dan kritik terhadap rendahnya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Banda Aceh hingga bulan Juli tahun 2025.
Menurut Formaki, Berdasarkan data resmi pemerintah (Kementerian Keuangan) per tanggal 21 Juli 2025, sejumlah indikator fiskal Banda Aceh dinilai jauh dari harapan public, jika dilihat berdasarkan tiga komponen utama APBD: Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan, dengan Postur APBD saat ini yang menampilkan Posisi Realisasi dan hasil analisis serta penilaian formaki sebagai berikut:
- Pendapatan Daerah baru mencapai 48,67 persen, atau Rp715,02 miliar dari target Rp1.469,16 miliar, dengan masing-masing capaian: PAD Rp 210,86 miliar (52,22%), TKDD Rp 479,58 miliar (46,92%), dan Pendapatan lainnya Rp 24,8 miliar (56,88%). Yang mana pos sumber pendapatan daerah tersebut terdiri dari : Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat, Lain-lain Pendapatan Sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, dan Pendapatan Transfer Antar Daerah.
Disini Rendahnya realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang baru terealisasi 52,22%, Dengan sejumlah jenis PAD masih rendah misalnya pajak daerah baru mencapai 46,97% dan Retribusi 43,78%, Namun, ada juga penerimaan luar biasa seperti pengelolaan kekayaan daerah (280,78%) yang perlu diverifikasi legalitas dan keberlanjutannya.
Dengan realisasi pendapatan secara keseluruhan masih di bawah 50%, artinya Kota Banda Aceh perlu mempercepat penagihan dan pencairan transfer, terutama dari pemerintah pusat.
- Belanja Daerah yang terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Modal dan Belanja Lainnya. Ini secara keseluruhan menunjukkan posisi realisasinya sebesar 46,99%, atau baru realisasi Rp 693,70 Miliar, dari Pagu Rp 1.476,36 miliar. Sementara khusus Belanja Modal baru terealisasi sebesar 20,33% atau Rp 31,55 miliar dari total anggaran Rp155,15 miliar.
Disini Belanja operasional (terutama pegawai) cukup baik, tapi belanja pembangunan (modal) masih sangat rendah, rendahnya belanja modal merupakan indicator minimnya pelaksanaan pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, proyek-proyek fisik seperti jalan, drainase, sekolah dan layanan public kemungkinan besar belum berjalan atau terhambat.
- Pembiayaan Daerah, yang terdiri dari Penerimaan Pembiayaan Daerah, Pengeluaran Pembiayaan Daerah, dan Pembayaran Pokok Utang, yang saat ini realisasi anggarannya berada pada posisi; 0,00% dari pagu Rp 7,20 miliar. Dengan masing-masing posisi; Penerimaan Pembiayaan Daerah pada posisi Minus 177,25% atau Rp 17,72 miliar, dari Rp 10,00 miliar Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya, sedangkan Pengeluaran Pembiayaan Daerah, berada pada posisi 0,00 persen, atau Rp 1,40 miliar (50%) dari Rp 2,80 miliar untuk pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo.
Disini terdapat koreksi atau pencatatan keuangan yang janggal dan masalah pada pengelolaan pembiayaan daerah. Perlu ditelusuri lebih lanjut terkait pengeluaran di luar anggaran dan koreksi pembiayaan negative dengan audit lebih lanjut terhadap pengelolaan SILPA dan penggunaan pembiayaan tahun sebelumnya.
Secara Umum, Realisasi pendapatan dan belanja masih moderat (sekitar 45-49%), yang seharusnya mendekati 58-60% per Juli jika realisasi berjalan proporsional tiap bulan. Maka dengan Belanja Modal yang masih rendah ini mengindikasikan adanya hambatan pelaksanaan proyek fisik. Dan Pembiayaan yang mencatat nilai negative, ini potensi risiko fiskal atau ada kesalahan pencatatan atau kesalahan dalam input data.
Adanya temuan Anomali dan Ketimpangan Anggaran dalam laporan realisasi anggaran, seoerti: adanya realisasi Pembayaran pokok utang sebesar Rp1,4 miliar, sementara di pos anggaran bersangkutan itu tidak ada perencanaan anggarannya, sementara Penerimaan pembiayaan daerah justru mencatat angka negatif hingga -177,25%, dari yang seharusnya menjadi surplus pembiayaan. Selain itu juga Belanja pegawai justru mendominasi serapan dengan capaian 65,67%, jauh lebih tinggi dibanding belanja barang/jasa (37,63%) dan belanja sosial.
Realisasi APBD Kota Banda Aceh menunjukkan situasi yang memprihatinkan, terutama dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat fisik dan pelayanan publik. dari data yang telah disajikan mengungkap bahwa realisasi belanja modal yang merupakan indikator utama pembangunan daerah masih berada di angka 20,33%, ini jauh di bawah ambang wajar semester pertama. Di sisi lain, belanja pegawai mendominasi serapan anggaran, yang telah menciptakan ketimpangan arah kebijakan fiskal daerah.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa kesannya Pemko lebih sibuk membiayai administrasi birokrasi dibanding melayani rakyat, dan Formaki merasa perlu menyampaikan pertanyaan terbuka kepada dua institusi utama: Pemerintah Kota Banda Aceh sebagai eksekutor kebijakan fiskal, dan DPRK Banda Aceh sebagai pengawas anggaran.
- Apa penyebab keterlambatan realisasi belanja pembangunan?
- Mengapa capaian PAD begitu rendah padahal sektor pajak dan retribusi menjadi andalan daerah?
- Bagaimana mungkin terjadi realisasi pembiayaan utang tanpa penganggaran?
- Apakah DPRK telah menjalankan fungsi pengawasan secara efektif?
Dan Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada pengawasan keuangan publik, kami memandang perlu mengangkat temuan ini ke ranah publik agar tidak terjadi pembiaran atas rendahnya kinerja anggaran serta potensi pelanggaran prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).tutup Ketua Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) Alizamzami.[Red]