PLN Pastikan Pemutusan Ilegal, Pelaku Pembongkaran Meteran di Banda Aceh Terancam Pasal Berlapis

  • Bagikan

BANDA ACEH – SaranNews | Kasus pembongkaran paksa meteran listrik di kediaman seorang warga di Desa Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, memasuki babak baru. PT PLN (Persero) secara resmi memastikan tindakan tersebut ilegal dan dilakukan oleh oknum yang bukan petugas resmi. Kepastian ini membuka jalan bagi penjeratan hukum pidana berlapis bagi para pelaku, tidak hanya dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi juga dari Undang-Undang Ketenagalistrikan.

Konfirmasi tersebut tertuang dalam surat keterangan resmi bernomor 0006/ULPSYK/BAC/2025 yang dikeluarkan PLN ULP Syiah Kuala pada 15 September 2025. Yang ditandatangani oleh PLH MANAGER RAIYAN MAULANA, Dalam surat tersebut, PLN menegaskan, “yang melakukan pembongkaran Kwh Meter tersebut bukan petugas PLN ULP Syiah Kuala,” setelah memverifikasi bukti video yang diserahkan korban AZ. PLN juga telah memulihkan instalasi listrik di kediaman korban.

Dengan adanya surat ini, korban kini memiliki bukti kuat untuk melanjutkan kasus ini ke ranah hukum. Tindakan para pelaku tidak hanya memenuhi unsur pidana umum, tetapi juga pelanggaran serius terhadap regulasi khusus di sektor energi.

Ancaman Jerat Hukum Berlapis

Para pelaku dapat dijerat dengan beberapa pasal sekaligus dari peraturan perundang-undangan yang berbeda. Kombinasi pasal ini dapat memberikan efek jera dan hukuman yang lebih berat.

Pertama, dari aspek Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Tindakan pelaku dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang memengaruhi operasi instalasi tenaga listrik secara tidak sah. Secara spesifik, Pasal 51 ayat (3) dalam UU ini menyatakan:

“Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta ru1piah).”

Meskipun pasal ini sering digunakan untuk kasus pencurian listrik, tindakan membongkar meteran yang merupakan komponen vital dalam penyaluran dan pengukuran listrik secara ilegal dapat ditafsirkan sebagai upaya memengaruhi atau mengganggu penyediaan tenaga listrik yang sah, sehingga relevan untuk diterapkan.

Kedua, dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aksi para pelaku dapat dikenai setidaknya dua pasal utama:

  1. Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Meteran listrik atau kWh meter adalah aset milik PLN yang dipinjamkan kepada pelanggan. Mengambil atau membongkarnya dari lokasi terpasang tanpa hak dapat dikategorikan sebagai pencurian. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda.
  2. Pasal 406 KUHP tentang Perusakan Barang. Dengan membongkar paksa instalasi, pelaku telah merusak atau setidaknya membuat barang tersebut (meteran dan jaringan kabel terkait) tidak dapat dipakai sebagaimana mestinya. Pasal ini mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.

Apabila tindakan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu orang, maka dapat ditambahkan penyertaan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang akan memberatkan hukuman bagi semua yang terlibat.

Dengan adanya konfirmasi resmi dari PLN, aparat penegak hukum kini memiliki dasar yang kokoh untuk memproses laporan korban. Kasus ini menjadi preseden penting bahwa tindakan main hakim sendiri terkait instalasi listrik bukan hanya pelanggaran ringan, melainkan tindak pidana serius dengan konsekuensi hukum yang berat.[Mw]

Sumber Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Penulis: Mersal WandiEditor: redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *