Aceh Selatan | SaranNews – Koordinator wilayah barat Yayasan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumoh Putroe Aceh Gusmawi Mustafa, menekankan bahwa revisi Qanun Jinayat harus menjadi solusi konkret dalam memberikan perlindungan maksimal bagi korban dan memastikan efek jera bagi pelaku.
Hal tersebut disampaikan Gusmawi menyikapi kondisi saat ini dimana kekerasan kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat di Aceh.
“Kami sering menangani kasus yang melibatkan anak-anak sebagai korban. Ini bukan hanya kejahatan terhadap individu, tetapi juga ancaman bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Oleh karena itu, Qanun Jinayat harus direvisi agar lebih tegas dalam menghukum pelaku,” kata Gusmawi Mustafa Sabtu 08 Februari 2025.
Selain itu, ia juga menyoroti ancaman perilaku homoseksual yang bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam dan perlu mendapatkan perhatian serius dalam revisi Qanun.
Begitupun, untuk memperkuat efek jera dan memberikan keadilan bagi korban, Gusmawi Mustafa mengusulkan beberapa opsi hukuman yang lebih efektif antara lain yang pertama, hukuman cambuk dan penjara seumur hidup.
Bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, hukuman cambuk harus diperberat, ditambah dengan penjara seumur hidup untuk kasus yang tergolong berat atau dilakukan berulang kali.
Kemudian yang kedua, jukuman kebiri dengan mekanisme khusus. Jika hukuman kebiri tetap dimasukkan dalam revisi, maka harus ada mekanisme yang jelas seperti persetujuan medis, rekomendasi psikolog, serta keputusan hakim syariah agar sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Lalu yang ketiga, penyitaan harta dan denda Besar. Pelaku kekerasan seksual harus diberikan hukuman tambahan berupa denda berat, di mana uangnya dialokasikan untuk rehabilitasi korban dan keluarganya.
Kemudian yang keempat, pengasingan dan kerja sosial paksa. Pelaku dapat dikenakan hukuman tambahan berupa pengasingan ke daerah tertentu atau diwajibkan melakukan kerja sosial yang berat sebagai bentuk hukuman ta’zir.
Dan yang terakhir,rehabilitasi lejiwaan dan pemantauan letat. Setelah menjalani hukuman, pelaku wajib mengikuti rehabilitasi psikologis dan bimbingan agama. Aparat berwenang juga harus memantau ketat pelaku setelah bebas, untuk mencegah mereka mengulangi perbuatannya.
“Revisi Qanun Jinayat tidak hanya soal hukuman berat, tapi juga harus memperkuat sistem pencegahan. Edukasi kepada masyarakat, peran orang tua dalam mengawasi anak, serta penguatan ajaran agama harus menjadi prioritas,” lanjut Kepala Sekretariat Baitul Mal Aceh Selatan ini.
Lebih lanjut, sebut Gusmawi, P2TP2A terus berupaya melakukan sosialisasi dan advokasi agar masyarakat lebih sadar akan bahaya kejahatan seksual dan cara melindungi anak-anak mereka dari ancaman tersebut.
“Kami ingin melihat Aceh menjadi contoh dalam penegakan Syariat Islam yang kuat dan berkeadilan. Jangan sampai ada celah hukum yang membuat pelaku merasa bisa lolos dari hukuman. Kita harus bersatu untuk melindungi generasi masa depan Aceh,” tutup Gusmawi. (*)