Selama dua tahun terakhir, Aceh Selatan menghadapi krisis tata kelola keuangan yang tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah teknis semata.
Ketika defisit anggaran membengkak, proyek-proyek fisik ditemukan bermasalah, dan hak-hak pegawai tidak terpenuhi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya stabilitas fiskal, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) sebagai jantung pengelolaan fiskal justru menjadi sorotan utama. Banyak pihak menilai lembaga ini gagal menjalankan fungsi utamanya secara transparan dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, masyarakat Aceh Selatan layak bertanya ke mana uang daerah selama ini dikelola?
Defisit, Utang, dan Rekayasa Administrasi
Sejak 2023 hingga 2024, kondisi keuangan daerah terus memburuk. Defisit yang membesar tanpa kejelasan pengendalian, serta beban utang yang meningkat tanpa transparansi penggunaan, telah menimbulkan keresahan luas.
Sementara itu, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan banyak temuan di beberapa OPD: dari kelebihan bayar, pekerjaan proyek fisik yang tidak sesuai volume, hingga pengelolaan keuangan yang janggal.
Lebih mengkhawatirkan lagi, menjelang akhir tahun anggaran 2024, muncul dugaan adanya pengkondisian administratif agar seluruh tagihan GU (Ganti Uang) dinyatakan selesai, padahal uang di Kas Daerah tidak tersedia.
Ini bukan hanya akal-akalan, tapi bentuk manipulasi sistemik yang mencederai sistem keuangan daerah dan berpotensi melanggar hukum.
Ketika Hak Aparatur dan Publik Terabaikan
Di sisi lain, BPKD juga diduga telah mengabaikan kewajiban dasar pemerintah dalam membayar hak para pegawai. Tunjangan kinerja (TC) PNS dan honorarium tenaga kontrak di berbagai OPD dilaporkan belum dibayar hingga berbulan-bulan. Ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan aparatur, tapi juga terhadap pelayanan publik yang mereka jalankan setiap hari.
Ironisnya, ketika masyarakat mencoba meminta penjelasan dan informasi secara resmi, mereka justru diabaikan. Permintaan informasi publik dari LSM dan masyarakat tidak pernah direspons.
Surat resmi didiamkan, konfirmasi langsung tak digubris, bahkan pesan WhatsApp pun tak dijawab. Situs web resmi BPKD juga tidak memuat dokumen anggaran, realisasi belanja, atau informasi kas daerah sebagaimana mestinya.
Aksi Massa dan Tanda Bahaya
Ketika jalur formal tak dihiraukan, masyarakat akhirnya turun ke jalan. Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan elemen sipil dalam beberapa bulan terakhir adalah bukti bahwa persoalan ini telah menjadi krisis kepercayaan. Ini bukan lagi sekadar tuntutan anggaran atau data, tapi desakan agar pemerintah daerah menghentikan praktik tertutup dan manipulatif yang selama ini terjadi.
Kita harus sadar, keterbukaan bukan sekadar formalitas, tapi fondasi utama dalam membangun kepercayaan antara negara dan rakyatnya. Ketika institusi pengelola uang rakyat tertutup dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, maka demokrasi lokal kita berada di ambang kegagalan.
Mendorong Reformasi, Audit, dan Kepemimpinan Baru
Langkah-langkah korektif harus segera diambil oleh pemerintah Kabupaten Aceh Selatan antara lain, pertama melakukan evaluasi menyeluruh terhadap BPKD,
Kedua, mendorong audit investigatif oleh BPK atau BPKP. Ketiga, membuka semua informasi anggaran kepada publik dan yang terakhir menyelesaikan tunggakan hak-hak aparatur dengan segera.
Selain itu, Bupati Aceh Selatan yang dilantik pada 17 Februari 2025 juga memiliki peluang besar untuk menunjukkan komitmen perubahan dalam masa program 100 harinya, Ini adalah momentum emas untuk melakukan terobosan dan langkah sebagai berikut:
Melakukan reformasi menyeluruh di tubuh BPKD, termasuk penguatan sistem transparansi dan pengawasan internal,
Membangun komunikasi yang terbuka dan responsif terhadap kritik masyarakat dan media,
Mengembalikan kepercayaan publik dengan langkah-langkah cepat dan konkret dalam menyelesaikan defisit, tunggakan, serta memperbaiki arsitektur fiskal daerah.
Sebagai kepala daerah baru, harapan masyarakat begitu besar terhadap kepemimpinan yang bersih, tegas, dan berpihak pada keterbukaan. Memperbaiki BPKD dan membuka data anggaran adalah langkah awal yang paling masuk akal dan ditunggu publik.
Pemerintahan yang menolak transparansi sedang menyembunyikan sesuatu. BPKD Aceh Selatan harus ingat bahwa setiap rupiah yang dikelola adalah uang rakyat. Ketika publik tidak lagi diberi tahu ke mana uang mereka digunakan, maka publik berhak bertanya, dan jika tak dijawab, mereka berhak menuntut.
Kini, saatnya Bupati baru hadir sebagai solusi, bukan sebagai kelanjutan dari masalah lama. Aceh Selatan harus diselamatkan, bukan hanya dari krisis keuangan, tapi dari krisis integritas.(*)
Penulis: Alizamzami (Koordinator FORMAKI)