Oleh: Alizamzami, Ketua FORMAKI (Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia)
Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan saat ini tengah menggelar proses seleksi terbuka untuk mencari nakhoda baru bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Naga periode 2025-2030. Sebuah proses yang di atas kertas tampak ideal, mengacu pada regulasi nasional untuk menjaring figur profesional. Namun, seleksi kali ini bukanlah sekadar rutinitas birokrasi. Ia menjadi sebuah panggung ujian bagi transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah, yang berlangsung di tengah bayang-bayang polemik kebijakan sebelumnya.
Publik tentu belum lupa dengan kegaduhan yang sempat terjadi beberapa waktu lalu terkait pemberhentian dan pengangkatan pucuk pimpinan di BUMD tersebut. Kebijakan yang dinilai sebagai blunder itu menuai sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari kami (Formaki), yang menduga adanya unsur politis di balik keputusan tersebut. Kini, Formaki dan publik kembali menyorot tajam, berharap proses yang sedang berjalan tidak menjadi preseden buruk baru yang mencederai tata kelola pemerintahan yang baik.
Jika kita menelaah lembar pengumuman seleksi Nomor 609/VI/2025, tidak ada yang keliru secara formal. Persyaratan yang ditetapkan, mulai dari batas usia , pendidikan minimal Sarjana (S-1), hingga pengalaman manajerial, seluruhnya telah selaras dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2018. Panitia seleksi seolah ingin menunjukkan bahwa proses ini berjalan sesuai koridor hukum.
Akan tetapi, kepatuhan pada aturan formal seringkali tidak cukup untuk menjamin hasil yang bersih dan memuaskan publik. Titik-titik rawan justru kerap muncul dalam tataran implementasi, di mana ruang subjektivitas dan potensi intervensi terbuka lebar. Di sinilah letak kekhawatiran utama yang harus dikawal bersama.
Pertama, siapakah “tim ahli” yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk melakukan Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK)?. Pengumuman tidak merinci profil dan rekam jejak mereka. Independensi dan kredibilitas tim penguji adalah jantung dari seleksi yang adil. Tanpa kejelasan ini, wajar jika publik bertanya-tanya apakah tim tersebut benar-benar steril dari segala bentuk konflik kepentingan.
Kedua, dan ini yang paling krusial, adalah tahap wawancara akhir dengan Bupati Aceh Selatan. Regulasi memang memberikan hak prerogatif kepada Kepala Daerah untuk memilih satu dari tiga nama yang diajukan panitia. Namun, di sinilah objektivitas hasil tes tulis, psikotes, dan presentasi makalah bisa dimentahkan oleh penilaian subjektif dalam sebuah pertemuan singkat. Ini adalah celah terbesar yang bisa dimanfaatkan untuk melegitimasi “kandidat titipan”, sementara proses seleksi yang mahal dan panjang hanya menjadi kamuflase.
Kewaspadaan yang kami suarakan kembali menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Pengalaman masa lalu menunjukkan betapa rentannya posisi strategis BUMD dari tarikan kepentingan politik. PDAM bukanlah sekadar entitas bisnis, ia adalah lembaga pelayanan publik yang hajat hidupnya menyangkut seluruh masyarakat Aceh Selatan. Menempatkan orang yang tidak tepat karena alasan politis, bukan kompetensi, sama saja dengan mengorbankan kualitas pelayanan air bersih bagi warga.
Oleh karena itu, seleksi Direktur PDAM Tirta Naga kali ini harus menjadi momentum pembuktian. Ini adalah kesempatan bagi Bupati Aceh Selatan untuk menunjukkan komitmennya pada prinsip good corporate governance dan menjawab keraguan publik. Caranya adalah dengan memastikan proses berjalan lebih dari sekadar formalitas. Buka ke publik siapa saja panitia seleksi dan tim ahlinya. Berikan akses terhadap hasil penilaian setiap tahapan secara transparan. Dan yang terpenting, pilihlah direktur berdasarkan rekam jejak, kapasitas, dan visi yang paling unggul, bukan berdasarkan kedekatan atau pertimbangan politis.
Pada akhirnya, legitimasi direktur terpilih nantinya tidak hanya ditentukan oleh selembar surat keputusan, tetapi oleh kepercayaan publik terhadap proses yang telah dijalankannya. Mari kita kawal bersama agar proses ini tidak lagi menjadi polemik, melainkan menjadi standar baru transparansi di Aceh Selatan.(**)