Aceh Selatan | Sarannews – Sebuah informasi menarik muncul dari internal DPRK Aceh Selatan: seluruh program Pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan disebut-sebut tak satu pun diakomodasi dalam dokumen penganggaran daerah Tahun 2025. Meski bersifat off the record, informasi ini mengusik nalar publik tentang bagaimana relasi antara eksekutif dan legislatif di daerah ini berlangsung dalam senyap.
“Tidak ada satupun Pokir kami yang masuk di APBK 2025 ini,” ungkap seorang anggota DPRK Aceh Selatan yang enggan identitasnya dipublikasikan. Ia menyebut kondisi ini sebagai “pertama kali sepanjang saya duduk di parlemen daerah ini.” Meski singkat, pernyataan itu menimbulkan efek gaung yang tak kecil.
Pokir dan Prinsip Keterwakilan Rakyat
Pokok Pikiran atau Pokir adalah buah dari proses penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh anggota dewan, khususnya saat masa reses. Secara normatif, Pokir menjadi salah satu sumber utama dalam penyusunan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) yang kemudian menjadi dasar penyusunan KUA-PPAS dan RKA-SKPK hingga final menjadi APBK.
Keberadaan Pokir bukanlah bentuk “jatah proyek”, melainkan instrumen representatif bagi masyarakat yang kadang tak tersentuh melalui jalur Musrenbang reguler. Oleh karena itu, penghapusan total Pokir, jika benar adanya, bukan sekadar soal alokasi, tetapi menyangkut esensi fungsi pengawasan dan representasi legislatif.
Harmonisasi yang Diuji Diam-Diam
Selama ini, relasi antara eksekutif dan DPRK Aceh Selatan terkesan tenang di permukaan. Namun di balik layar, informasi ini menyingkap adanya potensi disharmoni atau ketidaksepakatan yang mungkin tak pernah dibuka ke ruang publik. Apakah pencoretan ini murni karena rasionalisasi anggaran? Ataukah merupakan reaksi politis terhadap sikap atau manuver legislatif tertentu di masa lalu?
Beberapa analis menyebut bahwa menghilangkan seluruh Pokir dewan dalam satu tahun anggaran bisa menjadi sinyal dominasi mutlak eksekutif atas proses penganggaran. Padahal, sistem pemerintahan daerah yang menganut prinsip check and balances mestinya menjaga keseimbangan pengaruh antara dua lembaga ini.
Secara normatif, proses penyusunan APBK harus melalui mekanisme teknokratik dan partisipatif, sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017, yang menyatakan bahwa Pokok Pikiran DPRD merupakan salah satu input resmi dalam penyusunan RKPD. Pokir yang disusun melalui kegiatan reses dan disampaikan tepat waktu ke pemerintah daerah, wajib diverifikasi dan dipertimbangkan oleh Bappeda dan OPD teknis. serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jika Pokir dikesampingkan tanpa mekanisme penyaringan yang transparan, hal ini bisa berpotensi melanggar prinsip perencanaan partisipatif.
Lebih lanjut, Permendagri No. 70 Tahun 2019 tentang SIPD juga mengatur bahwa Pokir harus dimasukkan ke dalam sistem secara elektronik agar dapat diolah dalam perencanaan. Tanpa langkah tersebut, usulan Pokir berisiko terabaikan secara administratif.
Dalam kerangka hukum yang lebih luas, PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan bahwa DPRD memiliki hak untuk mengajukan, membahas, dan menyetujui struktur APBD, bukan sekadar menerima hasil final. Oleh sebab itu, apabila tidak ada ruang pembahasan substansial atau penjelasan formil tentang pencoretan Pokir, hal ini dapat dikritisi dari sisi tata kelola anggaran maupun etika kelembagaan.
Selain itu, aspek kepatutan tata kelola juga patut dikaji: apakah pencoretan Pokir ini disampaikan secara resmi dalam forum pembahasan KUA-PPAS? Apakah ada notulensi atau risalah penolakan Pokir yang menjadi dasar penghapusan total? Jika tidak, maka proses ini perlu dikritisi secara etis dan prosedural.
Hingga berita ini ditayangkan, redaksi Sarannews belum memperoleh konfirmasi resmi dari pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), maupun Bappeda terkait dugaan pencoretan seluruh Pokir DPRK.
Redaksi membuka ruang seluas-luasnya kepada pihak eksekutif, TAPD, pimpinan DPRK, maupun unsur terkait lainnya untuk memberikan klarifikasi, penjelasan, atau tanggapan resmi. Hal ini penting demi menjaga akuntabilitas publik dan membangun tata kelola pemerintahan daerah yang sehat, seimbang, dan transparan.(*)