Menelisik Anggaran BPPA , Tak Relevan dan Terkesan Menghambur Anggaran?

  • Bagikan

Oleh: Ali Zamzami (Ketua FORMAKI)

Ketika publik Aceh bertanya-tanya ke mana arah reformasi birokrasi dan efisiensi fiskal daerah, sebuah instansi yang berada jauh dari pusat pemerintahan daerah justru menyedot perhatian yaitu Badan Penghubung Pemerintah Daerah (BPPA) yang bermarkas di Ibukota Negara Republik Indonesia,Jakarta.

Lembaga ini, yang seharusnya menjadi simpul hubungan antara Pemerintah Aceh dengan pusat kekuasaan di Jakarta, justru memperlihatkan gejala yang tak lazim dalam dokumen anggaran tahun 2025. Bukan karena besaran pagunya semata, tapi lebih pada pola belanja yang terkesan boros, tak tepat fungsi, dan mengandung risiko penyimpangan.

Sebut saja, belanja studio video dan konsumsi tinggi. Yang paling mencolok adalah pengadaan studio video dan peralatan produksi film senilai lebih dari Rp 3 Miliar. Jika saja ini dilakukan oleh dinas komunikasi dan informasi, mungkin masih ada relevansi. 

***

Tapi untuk BPPA yang fungsinya adalah pelayanan tamu, fasilitasi antar-lembaga, dan promosi budaya, ini sangat janggal. Tak kalah mencurigakan adalah pos anggaran untuk jamuan makan, hotel, perjalanan dinas, dan sewa gedung, yang nilainya mencapai lebih dari Rp 4 Miliar. 

Jika kita hitung per kegiatan dan bandingkan dengan laporan kegiatan yang selama ini diterbitkan BPPA, output-nya tak pernah transparan ke publik. Kami mencatat pula belanja-belanja kecil dalam jumlah banyak yang menyerupai pola spliting paket. Misalnya, mebel dan peralatan rumah tangga dengan belasan paket terpisah, masing-masing di bawah Rp 200 juta. 

***

Di era digitalisasi pengadaan, cara ini justru membuka celah penyalahgunaan proses tanpa lelang terbuka. Ini bukan sekadar soal administrasi. Ini soal akuntabilitas dan integritas penggunaan uang rakyat. Pergub Aceh No. 105 Tahun 2016 menegaskan fungsi BPPA adalah menjembatani urusan antar pemerintah, promosi budaya Aceh, dan membina masyarakat Aceh perantauan. 

Tidak ada satu pasal pun yang menyebut kewenangan BPPA membangun studio produksi sendiri, atau menjadi unit dokumentasi video daerah. Logika dasarnya sederhana, apakah pembelian kamera, tripod, dan mic senilai miliaran rupiah dapat meningkatkan fungsi diplomatik Aceh di Jakarta? Jawabannya hampir pasti, tidak.

Di tengah krisis keuangan dan utang daerah yang menumpuk, penggunaan anggaran harus diarahkan pada prioritas nyata, bukan pencitraan, bukan pemborosan. Dan ketika lembaga penghubung di Jakarta tak lagi mewakili kepentingan publik Aceh, maka saatnya rakyat bersuara.[]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *