Banda Aceh – 6 Juli 2025 | Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) mengungkap potensi kejanggalan dalam proses tender proyek lanjutan pembangunan Rumah Sakit Rujukan Regional dr. Yuliddin Away Tapaktuan di Kabupaten Aceh Selatan. Proyek yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Aceh tersebut memiliki nilai pagu sebesar Rp15.914.142.000 dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai Rp15.908.592.000,- selisih hanya sekitar Rp5,5 juta.
Temuan ini disampaikan FORMAKI berdasarkan hasil kajian terhadap dokumen pengadaan yang tersedia secara terbuka di laman LPSE Aceh dan uraian singkat pekerjaan proyek. LSM yang bergerak di bidang pengawasan anggaran ini menilai bahwa selisih HPS dan pagu yang sangat kecil patut dipertanyakan kewajarannya dalam konteks penyusunan harga yang seharusnya kompetitif.
“Selisih yang hanya 0,035 persen ini sangat tidak lazim. Hal ini bisa berimplikasi pada dugaan pengondisian harga, karena ruang kompetisi menjadi sangat sempit bagi penyedia lain,” ujar Arif Sawitra Koordinator Investigasi FORMAKI, dalam keterangannya di Banda Aceh, Minggu (6/7/2025).
FORMAKI juga menyoroti tidak lengkapnya informasi teknis yang tersedia di tahap pengumuman tender. Uraian pekerjaan tidak mencantumkan volume atau rincian harga satuan, padahal proyek ini mencakup pekerjaan kompleks seperti instalasi sistem gas medis, tata udara, CCTV, dan sistem komunikasi medis.
“Ketiadaan informasi rinci menghambat publik untuk mengawasi kelayakan dan kewajaran anggaran, terutama pada item-item bernilai tinggi seperti sistem MEP,” tambahnya.
Proyek ini merupakan tahap ke-9 dari rangkaian pembangunan rumah sakit tersebut, yang menurut FORMAKI sudah berlangsung hampir satu dekade. Namun masih terdapat pekerjaan di Blok A, Blok B, dan bangunan penghubung antarblok, yang disebut-sebut belum selesai.
“Kami mempertanyakan apakah ada pekerjaan yang diduplikasi atau belum selesai padahal sudah dianggarkan sebelumnya. Kami akan melakukan pengumpulan data lanjutan,” lanjutnya.
Dalam waktu dekat, FORMAKI menyatakan akan menyurati secara resmi Dinas Kesehatan Aceh untuk meminta akses terhadap dokumen teknis seperti RKS, HPS rinci, BOQ, gambar kerja (DED), serta laporan pekerjaan fisik tahap sebelumnya. Surat itu juga akan berisi pemberitahuan bahwa FORMAKI akan menjalankan pengawasan mandiri atas proses pengadaan dan pelaksanaan fisik proyek tersebut.
“Kami berharap Pemerintah Aceh membuka ruang transparansi. Jika data tak kunjung dibuka, kami siap meneruskan hasil pemantauan ini ke Inspektorat Aceh, BPKP, dan lembaga antikorupsi lain,” tegas Arif Sawitra.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi belum memperoleh tanggapan resmi dari Dinas Kesehatan Aceh maupun pihak terkait lainnya. Kami membuka ruang hak jawab dan klarifikasi dari instansi yang disebutkan guna menjamin pemberitaan yang berimbang dan akurat.(*)