Aceh Selatan – SaranNews | Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) mengungkap temuan investigasi terkait kegiatan dan anggaran pada Daerah Irigasi (D.I.) Gunung Pudung, Aceh Selatan, yang dinilai berpotensi mengarah pada ketidakefisienan penggunaan APBD dan lemahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran publik sektor sumber daya air.
Ketua FORMAKI, Alizamzami, menjelaskan bahwa pengawasan ini merupakan bagian dari upaya memastikan setiap rupiah APBD yang digelontorkan untuk sektor irigasi benar-benar memberikan manfaat bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani di Aceh Selatan.
Potensi Overlap dan Double Budgeting, Berdasarkan investigasi FORMAKI dari dokumen rinci tahun anggaran 2025, kegiatan yang tercatat antara lain:
- Pemeliharaan Berkala Tahap 1: Rp25.000.000 (Januari 2025)
- Pemeliharaan Berkala Tahap 2: Rp25.000.000 (Januari 2025)
- Pemeliharaan Rutin Bendung: Rp5.000.000 (Januari 2025)
- Honorarium Petugas Pintu Air: Rp62.400.000 (Januari 2025)
- Honorarium Juru Irigasi: Rp8.400.000 (Januari 2025)
- Total anggaran: Rp125.800.000 dari APBD
Formaki menyoroti adanya dua kegiatan pemeliharaan berkala dengan nilai identik dalam bulan dan lokasi yang sama, tanpa rincian output yang membedakan. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih pekerjaan. Selain itu, “Pemeliharaan Rutin Bendung” yang dilakukan pada waktu sama dengan pemeliharaan berkala juga berisiko overlap, khususnya pada item pembersihan saluran dan perawatan minor.
Honorarium petugas pintu air dan juru irigasi yang mencapai Rp70,8 juta atau sekitar 56% dari total anggaran juga disorot FORMAKI. “Hal ini perlu dikaji agar tidak menjadi biaya yang besar tanpa kontribusi nyata di lapangan,” tegas Alizamzami.
Minimnya Transparansi dan Risiko Pelaksanaan Terburu-buru, Investigasi juga menemukan tidak adanya publikasi rencana kerja fisik rinci dan target output pada setiap tahap pemeliharaan. Semua kegiatan dijadwalkan pada Januari 2025, yang dapat memaksa pekerjaan dilakukan terburu-buru dengan risiko kualitas rendah. “Ketika rencana tidak dipublikasikan, masyarakat tidak bisa memantau progres secara objektif, padahal ini uang rakyat,” ujar Alizamzami.
Potensi Penyimpangan Anggaran, Kegiatan dengan nilai relatif kecil seperti pemeliharaan rutin bendung (Rp5 juta) rentan menjadi formalitas tanpa realisasi memadai. Selain itu, pembayaran honorarium petugas dan juru irigasi tanpa verifikasi kinerja lapangan membuka celah penyimpangan anggaran. “Jika honorarium ini dibayarkan penuh tanpa kontribusi nyata, potensi kerugian negara bisa mencapai puluhan juta,” kata Alizamzami, menekankan perlunya sistem kontrol yang ketat untuk mencegah kerugian daerah.
Dampak ke Petani dan Sistem Irigasi, FORMAKI menekankan, jika terjadi overlap pekerjaan, maka anggaran pada dua tahap pemeliharaan berkala bisa tidak efektif. Kegiatan pemeliharaan yang tidak terukur juga dapat menyebabkan sistem irigasi tetap tidak optimal, mengganggu produktivitas para petani di Aceh Selatan. “Kami khawatir ketidakoptimalan ini akan memukul ketahanan pangan masyarakat, yang sebenarnya menjadi prioritas utama sektor irigasi,” tambah Alizamzami.
LSM FORMAKI menyampaikan rekomendasi berikut ini kepada Pemerintah Aceh dan Dinas Pengairan Aceh untuk: (1)Membuka rencana kerja dan spesifikasi teknis setiap kegiatan pemeliharaan secara publik, (2)Melaksanakan pengawasan lapangan dengan dokumentasi foto/video setiap tahap dan dipublikasikan untuk transparansi, (3)Audit oleh Inspektorat terhadap proporsi honorarium agar sesuai dengan kinerja lapangan, (4)Mengkaji ulang apakah dua tahap pemeliharaan berkala perlu dilaksanakan bersamaan atau digabung demi efisiensi, dan (5)Membuka nomor callcenter aduan masyarakat untuk laporan kondisi lapangan setiap saat dan potensi penyimpangan dan kelalaian petugas di lapangan.
Formaki menegaskan, investigasi ini adalah upaya FORMAKI mendorong akuntabilitas publik atas penggunaan APBD, agar setiap anggaran yang keluar memberikan dampak nyata untuk kesejahteraan petani dan keberlanjutan sistem irigasi di Aceh Selatan. FORMAKI akan menggunakan laporan ini dalam advokasi dialog dengan Dinas Pengairan Aceh dan pemantauan lapangan bersama masyarakat.
“Kami berharap pemerintah daerah bersedia membuka ruang dialog terbuka dan menerima masukan dari masyarakat sipil, karena semua ini demi kesejahteraan petani di Aceh Selatan,” tutup Alizamzami.(**)