Kualitas Pengerjaan Proyek Ruang Kelas Baru SMPN 17 Banda Aceh Disorot, Pengawasan Dipertanyakan

  • Bagikan

BANDA ACEH – Sarannews | Proyek Pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) di SMP Negeri 17 Banda Aceh menjadi sorotan tajam setelah ditemukan sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan pantauan di lokasi pada hari Jumat, 8 Agustus 2025, proyek senilai lebih dari Rp 2,69 miliar ini diduga mengabaikan standar teknis konstruksi yang dapat mengancam kualitas dan daya tahan bangunan di masa depan.

Kondisi paling mengkhawatirkan yang terlihat di lapangan adalah proses persiapan pengecoran pondasi yang dilakukan dalam genangan air. Galian pondasi tampak terisi air keruh yang tidak dikuras secara maksimal. Padahal, keberadaan air dalam cetakan beton dapat secara drastis mengurangi kekuatan dan mutu beton itu sendiri, karena akan mengubah rasio air-semen yang krusial bagi proses pengerasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai metode kerja yang diterapkan oleh kontraktor pelaksana.

Selain itu, material besi tulangan yang akan digunakan untuk struktur kolom dan balok terlihat ada perbedaan ukuran dalam satu rangkaian yang sudah selesai dibuat, diduga tidak sesuai spesifikasi teknis, dan sudah dalam kondisi berkarat karena ditempatkan diruang terbuka tanpa ditutupi untuk perlindungan. Tumpukan besi yang telah dirakit maupun yang belum terpasang tampak telah mengalami korosi. Karat pada besi tulangan dapat melemahkan ikatan antara besi dan beton, yang pada akhirnya berisiko mengurangi kekuatan struktur bangunan secara keseluruhan.

Persoalan tidak berhenti pada masalah teknis. Dari sisi manajemen proyek, sejumlah fasilitas standar juga tidak ditemukan di lokasi. Tidak ada papan informasi yang memuat jadwal pelaksanaan proyek atau grafik Kurva S yang seharusnya menjadi acuan publik dan pihak terkait untuk memantau progres pekerjaan. Lebih lanjut, tidak tersedia kantor pengawas atau direksi keet yang layak. Yang ada hanyalah sebuah barak pekerja yang ironisnya memanfaatkan salah satu ruang kelas sekolah yang ada. Kehadiran personel inti dari pihak pelaksana, CV. Rasya Pratama, maupun konsultan pengawas, CV. Karya Creative Consultant, juga dilaporkan jarang terlihat di lokasi proyek.

Anehnya, di tengah berbagai temuan yang mengindikasikan potensi masalah kualitas ini, pihak pengawas mengklaim proyek berjalan lebih cepat dari jadwal. Menurut informasi yang diterima melalui pesan WhatsApp dari pengawas proyek, progres per tanggal 3 Agustus 2025 menunjukkan realisasi pekerjaan mencapai 16,22% dari rencana sebesar 12,31%, sehingga terdapat surplus atau kemajuan sebesar 3,92%. Klaim surplus progres ini terasa kontras dengan kondisi pengerjaan di lapangan yang terkesan mengabaikan prosedur teknis yang benar.

Proyek yang didanai dari sumber Dana Alokasi Umum (DAU) Kota Banda Aceh tahun 2025 ini memiliki jangka waktu pelaksanaan dari 23 Juni hingga 19 Desember 2025. Dengan berbagai temuan ini, proyek pembangunan fasilitas pendidikan tersebut memerlukan perhatian dan pengawasan yang jauh lebih serius dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh. Langkah tegas diperlukan untuk memastikan kontraktor bekerja sesuai spesifikasi teknis dan menghasilkan bangunan yang kokoh, aman, serta berkualitas bagi para siswa dan guru di kemudian hari.

Menanggapi temuan di lapangan secara lebih mendalam, LSM Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) Ali, memberikan pernyataan tegas. Ia menyoroti bahwa masalah ini melampaui sekadar kesalahan teknis dan menyentuh aspek moral serta tanggung jawab publik.

“Apa yang kami saksikan di lokasi proyek SMPN 17 ini lebih dari sekadar temuan teknis; ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan. Di atas tanah yang disiapkan untuk pendidikan, fondasi untuk masa depan anak-anak kita justru dibangun dengan cara yang mengabaikan ilmu pengetahuan dan berpotensi membahayakan mereka,” ujar Ali pada Jumat (8/8/2025).

Ia melanjutkan, “Bagi kami, fondasi adalah jantung sebuah bangunan. Jika jantungnya sudah rapuh sejak awal karena dicor dalam air dan menggunakan besi berkarat, maka seluruh bangunan itu selamanya akan berisiko. Ini bukan soal estetika, ini soal ikatan kimia antara beton dan baja yang menjadi syarat mutlak kekokohan struktur, terutama di daerah rawan gempa seperti Aceh.”

Formaki juga mengkritik laporan kemajuan proyek yang tidak sejalan dengan realitas kualitas di lapangan. “Laporan surplus progres yang dibanggakan oleh pengawas itu menjadi sebuah paradoks yang menyesatkan. Bagaimana mungkin kita merayakan kecepatan kerja ketika kualitas, keselamatan, dan daya tahan bangunan justru dikorbankan? Ini menunjukkan budaya kerja yang hanya mengejar target di atas kertas, bukan hasil nyata yang bermanfaat dan aman bagi publik,” tegasnya.

“Pada akhirnya, kami ingin mengingatkan semua pihak bahwa taruhannya bukanlah sekadar uang negara Rp 2,69 miliar. Taruhan terbesarnya adalah keselamatan para siswa dan guru. Menyerahkan gedung yang dibangun dengan metode meragukan sama saja dengan mewariskan potensi bencana. Ini adalah kewajiban moral kita bersama untuk mengawasi bersama, dan Formaki meminta pihak Pengawas eksternal lainnya seperti Kejaksaan  juga wajib memberikan perhatian serius terhadap Proyek tersebut,” tutup Formaki.[Red]

Penulis: Mersal WandiEditor: Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *