Banda Aceh | SaranNews – LSM Formaki kembali mengeluarkan sikap kritis terhadap dinamika di DPR Aceh menyusul polemik batalnya tender RSUD dr. Yulidin Away Tapaktuan. Menurut Formaki, banyak pernyataan keras yang sudah disampaikan sejumlah anggota dewan secara individu, namun sebagian besar masih sebatas retorika tanpa langkah kelembagaan yang nyata.
“Kalau hanya bicara di media, itu akan terlihat sebagai pencitraan. Padahal DPR Aceh punya kewenangan penuh untuk mengawal proyek ini secara konstitusional, baik melalui fraksi, komisi, maupun partai politiknya,” tegas Formaki dalam pernyataannya.
Formaki menilai, meski ada anggota dewan yang lantang menyebut keputusan pembatalan tender “tidak masuk akal”, sikap itu belum diikuti mekanisme resmi kelembagaan. Akibatnya, suara dewan tidak solid dan daya tekan terhadap eksekutif melemah.
“Publik tidak butuh komentator politik. Publik butuh wakil rakyat yang bisa menghadirkan solusi regulatif agar anggaran tidak kembali jadi SILPA,” lanjut Formaki.
Untuk itu, Formaki menawarkan skema langkah kelembagaan agar DPR Aceh benar-benar menjalankan fungsi pengawasan dan penyelamatan anggaran publik :
Formaki menegaskan, kritik individu baru sebatas “bunyi di luar gedung”. Yang dibutuhkan masyarakat adalah keputusan di dalam gedung parlemen. “Kalau DPR Aceh ingin dihargai, mereka harus buktikan diri sebagai pengawal anggaran, bukan sekadar komentator. Jangan biarkan Rp15,9 miliar kembali menjadi SILPA, sementara hak rakyat atas rumah sakit rujukan terabaikan,” pungkas Formaki. [red]