Krisis Lingkungan Di Kluet Tengah, Mengapa Pemerintah Diam?

  • Bagikan

Oleh: Alizamzami

Sejak tahun 2023, telah berlangsung perambahan hutan secara besar-besaran di kawasan Gunung Rambong Tunjang, Desa Simpang II Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.

Kegiatan yang diduga ilegal ini menggunakan alat berat, mengindikasikan adanya perencanaan sistematis dengan keterlibatan modal besar dan orang besar di ajaran pengambil kebijakan.

Dampak negatif yang dirasakan masyarakat sangat nyata. Namun sampai saat ini tidak terdengar adanya tindakan pengawasan, penertiban, atau penegakan hukum yang berarti dari instansi terkait.

Anehnya lagi, Kepala UPTD KPH Wilayah VI Subulussalam yang mebawahi kawasan tersebut juga terkesan berpihak pada pelaku pengrusakan hutan yang hanya sibuk berpolemik dan perang argument dengan masyarakat yang menyampaikan protes selama ini.

Kegiatan perambahan hutan berskala besar yang menggunakan alat berat di kawasan tersebut bukan hanya masalah hukum atau tata kelola lahan. Ini adalah krisis kemanusiaan dan lingkungan.

Hutan yang menjadi penyangga kehidupan dan pelindung desa telah diubah menjadi ladang kerusakan. Jalan tani rusak, sistem air rusak, dan ancaman banjir bandang menghantui setiap musim hujan turun.

Ironis memang, ketika Kepala UPTD KPH Wilayah VI Subulussalam, yang seharusnya menjaga kawasan tersebut, malah berpolemik dan memihak pelaku, sementara masyarakat di bodoh-bodohi dan dituding, suara mereka dipatahkan, dan penderitaan mereka diabaikan.

Analisis Hukum dan pelanggaran yang patut diduga

1. Penyalahgunaan izin dan praktik mafia perizinan

Keterangan dari Kepala UPTD KPH Wilayah VI Subulussalam (IP) yang menyatakan bahwa lokasi berada di Areal Penggunaan Lain (APL) dan telah diberikan izin pemanfaatan kayu (PHAT) atas nama Rahmad.

Namun, hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut karena izin PHAT tidak otomatis membolehkan eksploitasi tanpa batas. APL tetap tunduk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peraturan Zonasi.

Jika kerusakan ekosistem terjadi, maka pemegang izin dapat dikenai sanksi pidana dan administratif berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selanjutnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Pasal-pasal yang merevisi izin lingkungan dan sanksi) dimana pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan, Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

2. Kelalaian atau pembiaran oleh aparatur

Jika diketahui bahwa,perambahan telah berlangsung lama, kerusakan sudah meluas, tidak ada upaya pengawasan, pencegahan, atau penindakan.

Maka terdapat indikasi kuat pembiaran atau kelalaian jabatan, yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh pejabat negara (PMH Pemerintahan).

Pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan Pelanggaran Pasal 421 KUHP jika terbukti ada penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pihak tertentu.

Transparansi dokumen dan publikasi izin PHAT serta RTRW lokasi perambahan dan klarifikasi status legalitas kawasan (APL, HPK, HPT, dll) merupakan hal yang wajib disampaikan kepada publik.

Begitu pula dengan penegakan hukum dan pemeriksaan terhadap pemegang izin, pemberi izin, dan pihak yang membiarkan dan penyidikan terhadap potensi kolusi antara pengusaha dan pejabat.

Tidak hanya itu, tindakan Pemulihan lingkungan dan evaluasi kerusakan ekosistem dan rehabilitasi jalan dan wilayah terdampak.

Terakhir, FORMAKI akan terus melakukan investigasi mendalam hingga menyerahkan laporan awal indikasi praktik mafia perizinan kehutanan kepada APH termasuk ke KPK RI.(*)

Penulis : Ketua FORMAKI

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *