Oleh: Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI)
Ketua: Alizamzami
Mengapa Kita Perlu Mengkritisi?
Korupsi daerah masih menjadi kanker yang menghambat pembangunan dan menghancurkan keadilan sosial. Penandatanganan komitmen antikorupsi antara Kepala Daerah dan DPRD yang difasilitasi KPK melalui MCP sering dipromosikan sebagai langkah strategis pencegahan korupsi di daerah. Namun pertanyaannya, apakah komitmen ini benar-benar efektif atau hanya seremoni belaka?, Sebagai LSM yang konsisten mengawal pencegahan korupsi, FORMAKI menilai langkah ini perlu dikritisi secara objektif agar publik tidak terjebak pada euforia tanpa substansi.
Regulasi Sudah Ada, Lalu Kenapa Harus Ada Komitmen Lagi?
Berbagai regulasi seperti UU Tipikor, UU Pemda, Permendagri tentang pengawasan, dan sistem MCP KPK sudah mengikat Kepala Daerah dan DPRD dalam pencegahan korupsi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan: Masih maraknya intervensi DPRD dalam proyek pengadaan, bansos, dan penganggaran APBD, Potensi kongkalikong antara eksekutif dan legislatif demi kepentingan politik dan rente proyek, Regulasi yang ada seringkali hanya menjadi formalitas tanpa keberanian implementasi, Dalam konteks inilah komitmen tertulis dianggap perlu sebagai ikatan moral dan politis. Namun apakah cukup hanya tanda tangan?
Monev oleh APIP: Solusi atau Jeruk Makan Jeruk?
Setelah komitmen ditandatangani, monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Inspektorat (APIP) yang berada di bawah Kepala Daerah, Pertanyaan kritisnya adalah, bagaimana mungkin APIP mengawasi atasannya secara independen, Apakah APIP berani mengungkap intervensi legislatif dan eksekutif jika ditemukan, Apakah hasil monitoring akan diumumkan kepada publik atau hanya disimpan dalam rak arsip?. Potensi “jeruk makan jeruk” ini nyata jika publik tidak mengawasi pelaksanaan komitmen ini secara aktif.
KPK Setelah Fasilitasi Penandatanganan: Apa Tanggung Jawabnya?
KPK memiliki peran mengawal implementasi komitmen melalui MCP dengan memantau capaian area pencegahan korupsi dan melakukan supervisi. Namun publik perlu memastikan bahwa KPK: Konsisten mengawal dan melakukan supervisi ke daerah, Menindaklanjuti laporan masyarakat dengan serius, Menggunakan MCP bukan hanya sebagai dashboard formalitas penilaian daerah. Tanpa pengawalan aktif dari publik, komitmen ini bisa menjadi sekadar simbol tanpa perubahan nyata.
FORMAKI mendorong agar penandatanganan komitmen antikorupsi menjadi langkah nyata, dengan: Mendorong transparansi penuh hasil Monev kepada publik melalui publikasi terbuka. Melibatkan LSM dan masyarakat sipil dalam pengawasan pelaksanaan komitmen. Memanfaatkan MCP sebagai alat kontrol publik, bukan hanya untuk nilai formal Pemda. Memastikan KPK secara aktif mengawal, melakukan klarifikasi, dan memberikan tindak lanjut tegas. Mengembangkan whistleblowing system yang aman untuk masyarakat dan pegawai pemerintah yang berani melaporkan.
Dari Seremoni ke Aksi Nyata
Penandatanganan komitmen antikorupsi hanyalah langkah awal. Tanpa transparansi, pengawasan publik, dan keberanian semua pihak, komitmen ini akan menjadi sekadar seremoni dan foto publikasi. FORMAKI mengajak semua elemen masyarakat untuk mengawasi secara kritis implementasi komitmen ini dan menjadikannya alat untuk mendesak pemerintahan daerah lebih transparan, bersih, dan berpihak pada rakyat. Korupsi tidak akan hilang hanya dengan tanda tangan, tetapi dengan keberanian kita bersama untuk mengawalnya.
Jika masyarakat menemukan indikasi pelanggaran terhadap komitmen antikorupsi yang telah ditandatangani, laporkan ke KPK melalui 198 dan kepada LSM FORMAKI sebagai bentuk partisipasi aktif pencegahan korupsi di daerah.(**)
#FORMAKI #Antikorupsi #PencegahanKorupsi #MCPKPK #Transparansi #GoodGovernance