SaranNews||ACEH SELATAN – Proyek duplikasi Jembatan Krueng Baru yang menghubungkan Aceh Selatan dengan Abdya kini menyisakan konflik serius terkait pembebasan lahan yang belum tuntas hingga saat ini, Kamis (23/5/2025).
Apa lagi ditengah gegap gempita pembangunan infrastruktur nasional, nasib puluhan warga Gampong Kuta Trieng, Kecamatan Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan, justru seolah tersingkirkan.
Ketua Formaki , Ali Zamzami mengatakan, masalah ini bermula ketika warga menerima informasi bahwa lahan mereka akan dibebaskan untuk proyek tersebut.
Namun, nilai ganti rugi yang ditetapkan oleh tim appraisal dinilai jauh dari layak. Rumah permanen milik warga yang sebelumnya diperkirakan bernilai hampir Rp200 juta hanya dihargai sekitar Rp59 juta.
“Kami bukan menolak pembangunan, kami hanya ingin keadilan dalam ganti rugi tanah kami,” ujar Teuku Jahet yang merupakan perwakilan warga Gampong Kuta Trieng kepada Formaki.
Kemudian pada 19 Maret 2025, perwakilan warga difasilitasi oleh LSM FORMAKI melakukan audiensi resmi dengan Bupati Aceh Selatan. Al hasil dalam audien tersebut melahirkan sebuah berita acara kesepakatan yang ditandatangani oleh Bupati, warga, dan FORMAKI.
Adpun empat poin utama disepakati antara lain:
- Bupati menyurati Gubernur dan Kementerian PUPR RI untuk meminta evaluasi ulang nilai ganti rugi.
- Fasilitasi pertemuan lanjutan antar-pihak sebelum keputusan teknis apapun.
- Komitmen mencari solusi lokal jika pusat tidak merespon.
- Pengakuan terhadap pendampingan hukum dari FORMAKI.
Namun, Kata Ali Zamzami, setelah surat dikirim Bupati kepada pihak terkait, tidak pernah ada tanggapan terbuka, baik tembusan ke warga maupun ada pertemuan lanjutan.
Menurut Ali Zamzami, ini terlihat hanya langkah sepihak saja dari Satker PJN II, hingga pada 20 Mei 2025, Satker pelaksanaan jalan nasional wilayah II Provinsi Aceh mengirimkan surat ke Keuchik Kuta Trieng.
“Isi surat itu yakni meminta warga mengumpulkan dokumen untuk proses pembayaran ganti rugi. Surat itu datang tiba-tiba, tanpa merujuk kepada kesepakatan 19 Maret, tanpa penjelasan nilai yang akan dibayar, dan tanpa dialog apapun, Ini seperti dipaksa menyerah,” ujar Ali Zamzami.

Atas persolaan itu, FORMAKI mengecam keras langkah Satker PJN II tersebut. Karena dalam siaran pers resmi, mereka menyatakan tindakan itu melangkahi proses musyawarah yang sah dan berpotensi sebagai bentuk maladministrasi berat.
“Kami telah menyurati Bupati sejak 14 Mei 2025, tapi tidak digubris. Kini warga malah disodori dokumen teknis yang bisa menjebak mereka,” ujar Ali Zamzami.
Setelah itu, Kata Ali Zamzami, Formaki mengajukan pengaduan ke Ombudsman RI Perwakilan Aceh dan komisi informasi Aceh. Mereka meminta agar proses ini dihentikan sementara, dokumen appraisal dibuka ke publik, dan dilakukan musyawarah ulang yang melibatkan warga secara bermartabat.
“Proyek pembangunan tidak seharusnya mengabaikan martabat dan hak konstitusional rakyat. Ketika suara warga diabaikan, ketika proses berjalan diam-diam, maka yang dibangun bukanlah kepercayaan, melainkan ketidakadilan baru. Di tanah Krueng Baru, pembangunan tak boleh berlanjut di atas luka,”Tutup Zamzami.(Rell-Formaki)