Kemandekan Dana Otsus adalah Pengabaian Hak Konstitusional Rakyat Aceh oleh Pemerintah Pusat

  • Bagikan

Oleh: Ali Zamzami (Ketua FORMAKI)

Di saat negara seharusnya menepati janji politik dan konstitusionalnya terhadap Aceh, Dana Otonomi Khusus (Otsus) justru mandek. Hingga Mei 2025, dana yang telah dianggarkan oleh pusat untuk Aceh belum juga ditransfer.

Ironisnya, sebelum keterlambatan ini, pemerintah pusat terlebih dahulu memangkas nominalnya tanpa dasar evaluatif yang sahih dan tanpa partisipasi rakyat Aceh.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah di mana negara ketika hak fiskal Aceh yang dijamin undang-undang dilumpuhkan secara sepihak.

Sebab, dana otsus bukan belas kasih pusat. Ia adalah hasil dari sejarah panjang konflik, perundingan damai Helsinki, dan perundang-undangan negara sendiri yakni  UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Maka, ketika dana ini ditahan, dikurangi, atau didistorsi, itu bukan soal administratif, tetapi pengingkaran terhadap komitmen politik yang telah disepakati bersama. Penundaan transfer ini, dengan dalih “proses sistem”, justru menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak menganggap Dana Otsus sebagai prioritas nasional, bahkan ketika banyak program pelayanan dasar rakyat Aceh sangat bergantung padanya.

***

Pemangkasan Dana Otsus 2025 dilakukan secara senyap. Tidak ada evaluasi terbuka. Tidak ada konsultasi dengan pemerintah daerah. Tidak ada dokumen publik yang menunjukkan kajian kinerja sebagai dasar pemotongan.Negara bertindak sebagai pemilik tunggal, bukan sebagai pelaksana kewajiban konstitusional.

Jika Pemerintah  Aceh dinilai belum optimal mengelola dana otsus, maka semestinya pemerintah pusat bertanggung jawab memperbaiki sistemnya, bukan justru memotong dan menahan dana. Ini bukan koreksi, ini pembalasan birokratis.

Yang lebih menyedihkan, di tengah situasi ini, para elit politik Aceh baik eksekutif maupun legislative tampak diam, kompromistis, dan kehilangan daya tawar. Tidak ada pernyataan keras. Tidak ada langkah hukum. Tidak ada konsolidasi dengan masyarakat sipil. Rakyat dipertontonkan bagaimana kepemimpinan Aceh gagal membela haknya sendiri.

***

Ketika hak konstitusional rakyat dilanggar dan elit lokal justru sibuk beradaptasi dengan “aturan pusat”, maka yang muncul bukan kepemimpinan, tapi keterjajahan baru yang diselubungi.

Jika keterlambatan dan pemotongan ini terus dilanggengkan, maka negara sedang menggali kuburnya sendiri dalam hal legitimasi dan kepercayaan publik. Jangan anggap Aceh lupa sejarah.

Jangan uji kesabaran rakyat dengan membunuh hak mereka secara teknokratis. Kemandekan ini akan berbalik menjadi resistensi. Tidak selalu dalam bentuk demonstrasi, tetapi dalam bentuk pengingkaran balik terhadap legitimasi pusat.

Pemerintah pusat wajib segera menyalurkan dana otsus Aceh tanpa syarat, dan mengembalikan nominalnya secara penuh. Pemerintah Aceh harus menyatakan sikap terbuka dan melakukan langkah hukum jika diperlukan.

Publik Aceh harus bersatu menuntut hak ini sebagai kewajiban negara, bukan sebagai kebijakan opsional. Karena hak yang dikhianati hari ini, akan menjadi alasan lahirnya krisis yang lebih dalam esok hari.[]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *