Oleh: LSM FORMAKI
Di tengah maraknya proyek pembangunan infrastruktur yang membanjiri kampus-kampus negeri baik gedung kuliah, laboratorium, hingga kawasan terpadu muncul pertanyaan krusial: apakah media dan publik bebas meliput dan mengawasi proyek-proyek tersebut?
Sayangnya, jawaban di lapangan sering kali tidak seideal teori. Banyak kampus negeri yang secara administratif terbuka, namun secara faktual bersikap tertutup dan defensif terhadap kegiatan peliputan proyek-proyek fisik. Wartawan ditolak dengan dalih “belum izin,” “mengganggu aktivitas akademik,” atau bahkan diposisikan seolah mengintervensi urusan internal. Padahal, proyek-proyek itu dibiayai dari dana negara, melewati proses pengadaan publik, dan menjadi bagian dari belanja APBN yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Kampus sebagai Badan Publik: Wajib Terbuka, Bukan Tertutup
Secara hukum, perguruan tinggi negeri adalah badan publik. Hal ini ditegaskan dalam: UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menempatkan PTN sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang dibiayai publik, Permendikbudristek No. 41 Tahun 2022 tentang layanan informasi publik di Kemendikbudristek dan unit kerja di bawahnya
Badan publik wajib membuka informasi tentang perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban proyek pembangunan. Termasuk di dalamnya dokumen anggaran, daftar paket pekerjaan, nama kontraktor, dan progres kegiatan. Ketertutupan terhadap peliputan atau informasi proyek berpotensi melanggar hak masyarakat atas informasi, sekaligus bertentangan dengan semangat transparansi dan reformasi birokrasi.
Pers Indonesia tidak memerlukan izin untuk melakukan peliputan. Hak untuk mencari dan menyebarkan informasi dijamin oleh: UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi dan menyebarkannya
Adapun etika, prosedur, atau protokol kampus dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Misalnya, koordinasi dengan humas kampus adalah bentuk etiket profesional, namun bukan alasan legal untuk membatasi kerja pers atau menolak akses informasi proyek publik.
Istilah “otonomi perguruan tinggi” sering disalahgunakan untuk menolak pengawasan publik, termasuk peliputan media. Padahal, otonomi kampus terbatas pada kebijakan akademik, manajerial, dan organisasi internal bukan kebal terhadap hukum publik. Apalagi bila proyek yang dilaksanakan bernilai miliaran rupiah dan dikerjakan oleh pihak ketiga melalui mekanisme tender terbuka.
Tidak sedikit kasus dugaan markup, pembangunan fiktif, atau kualitas pekerjaan buruk yang terbongkar justru melalui kerja investigatif media. Maka peliputan semacam ini bukan sekadar kerja jurnalistik, tetapi bagian dari fungsi kontrol publik atas keuangan negara.
Beberapa kampus hanya mencantumkan informasi minimal pada laman LPSE-nya. Bahkan ada yang tidak mempublikasikan pengumuman tender atau progres kontrak sama sekali. Ini berbanding terbalik dengan mandat UU KIP bahwa informasi yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa wajib proaktif dipublikasikan tanpa harus diminta.
Kondisi ini menciptakan ruang gelap yang subur bagi penyimpangan dan moral hazard. Jika kampus enggan memberi informasi, menutup pintu peliputan, dan menghalangi pertanyaan wartawan, publik justru patut curiga: ada apa yang sedang disembunyikan?
Transparansi Proyek Kampus adalah Keniscayaan, Peliputan proyek pembangunan di lingkungan PTN bukanlah tindakan mengganggu, melainkan bentuk partisipasi publik untuk menjaga akuntabilitas. Kampus negeri harus menyadari bahwa setiap bata yang ditanam dalam gedung baru dibangun dari uang rakyat. Maka sudah seharusnya pula, proses pelaksanaannya terbuka bagi rakyat.
Jika transparansi masih dianggap ancaman oleh kampus, bisa jadi yang perlu dibenahi bukan wartawan atau aktivis, melainkan sistem pengelolaan proyek yang lemah dan penuh potensi penyimpangan.[]