SaranNews.Net|Banda Aceh – Di tengah derasnya arus informasi dan maraknya praktik jurnalistik instan, pendidikan jurnalistik di tingkat kesarjanaan sangat urgen dan semakin dibutuhkan oleh berbagai kalangan.
Tak cukup hanya mengandalkan kemampuan teknis menulis berita apalagi memang pengetahuan itu masih sangat minim.
Jurnalis masa kini dituntut untuk memiliki landasan pengetahuan ilmiah, etika profesi, dan, pemahaman yang beragam terhadap ilmu-ilmu sosial, agama, sejarah, teknologi dan kecabangan ilmu lain-lain (multidisipliner) ilmu yang kokoh.
Profesi jurnalis yang menggambarkan banyaknya pengetahuan yang dimilikinya, sebagaimana dalam ungkapan “mengetahui sedikit tentang banyak hal”.
Ketua Umum Forum Pimpinan Redaksi Multimedia Indonesia (FPRMI), Wilson B Lumi, menegaskan betapa pentingnya penguatan akademik bagi calon jurnalis. Hal tersebut disampaikan dalam rilis pers yang diterima redaksi media ini pada Selasa (8/4/2025)
“Jurnalisme bukan sekadar kemampuan teknis menulis atau menyunting berita. Ia adalah ilmu, seni, dan tanggung jawab moral dan sosial yang menuntut pembentukan karakter serta kapasitas intelektual,” ujarnya.
Senada dengan itu, Muktarruddin Usman, Pengamat Pers Nasional, menyebutkan, bahwa pendidikan jurnalistik yang sistematis di tingkat universitas menjadi benteng utama profesionalisme media dan kewartawanan.
“Jurnalis yang tidak pernah bersentuhan dengan teori jurnalistik, komunikasi, kode etik, dan sejarah pers akan mudah tergelincir menjadi alat propaganda atau penyebar berita sensasi,” tegasnya.
Maslow Kluet, wartawan senior di Aceh, juga menggarisbawahi pentingnya bekal akademik bagi jurnalis muda.
Menurutnya, tantangan industri media saat ini tidak hanya berasal dari kemajuan teknologi, tetapi juga dari krisis kepercayaan publik.
“Ilmu jurnalistik di level sarjana memberikan kerangka berpikir yang logis dengan tanggung jawab moral yang kuat. Itu, tak bisa digantikan oleh pengalaman lapangan semata, apalagi pengetahuan jurnalistiknya sangat minim,” ungkapnya.
Sementara itu, Rizki Maulana, mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta, menyampaikan, bahwa pembelajaran jurnalistik di kampus membentuk pemahaman lebih dalam secara intelektual tentang peran media dalam konstruksi realitas.
“Kalau hanya mengejar viral, semua orang bisa jadi jurnalis. Tapi tanggung jawab sosial dan integritas lah yang membedakan kita,” katanya.
Di Aceh sendiri, sejumlah perguruan tinggi telah mengintegrasikan mata kuliah jurnalistik ke dalam program komunikasi.
Namun berbagai pihak menilai, sudah saatnya hadir program studi jurnalistik murni yang berdiri sendiri agar proses pendidikan dan pembinaan profesi berlangsung lebih serius dan terarah.
Kembali kepada pendapat Wilson yang mengatakan, profesi kewartawanan membutuhkan legitimasi intelektual.
“Jangan sampai jurnalis dianggap sekadar tukang catat peristiwa dan tukang rekam kejadian, tetapi harus jauh lebih dalam menulis apa saja, misalnya sejarah dan mengawal demokrasi serta menjadi suara bagi yang dibungkam,” pungkas Wilson.(*)