Penempatan kerja jauh dari tanah kelahiran dengan gaji pas-pasan bukan sekadar urusan administrasi, tetapi tentang keadilan sosial bagi pekerja Aceh.
Baru saja mereka bersyukur, berdoa, dan sujud syukur atas kelulusan seleksi di Balai Wilayah Sungai Sumatra I Aceh. Mereka adalah anak-anak Aceh, buruh kontrak yang telah lama mengabdi dengan honor pas-pasan per bulan tanpa tunjangan, yang bekerja dengan loyal menjaga infrastruktur air di Aceh. Namun kegembiraan itu segera berubah menjadi kekhawatiran yang menusuk. Mereka kaget saat nama mereka muncul dalam pengumuman penempatan, bukan untuk tetap di Aceh, melainkan di Papua, Jakarta, bahkan pelosok timur Indonesia. Dari barat ke timur, dari rumah ke entah di mana.
Bukan hanya satu orang, hampir semua yang lulus pada tahap ini menghadapi skenario yang sama. Lebih parah lagi, masih ada gelombang kelulusan berikutnya yang mereka khawatirkan akan mengalami hal yang serupa. Dan jangan lupa, ini juga bukan hanya terjadi di Balai ini saja, tapi berpotensi terjadi di instansi lain dengan pola rekrutmen serupa.
Bukan Isu Sepele; Di tingkat nasional, ribuan CPNS dan PPPK juga mundur karena tidak sanggup menjalani penempatan jauh dari domisili, meskipun mereka PNS dengan gaji dan tunjangan lebih baik. Lantas bagaimana dengan mereka yang hanya pegawai kontrak dengan gaji pas-pasan, tanpa tunjangan keluarga, tanpa tunjangan relokasi, tanpa jaminan masa depan?
Apakah ini adil?; Kita sedang bicara tentang orang-orang yang telah bekerja bertahun-tahun, yang punya anak sekolah, yang memiliki orang tua sakit, yang sedang mencicil rumah, dan mereka semua adalah warga Aceh.
Apakah Mereka Punya Pilihan?, Mereka terjebak dalam dilema: Melanjutkan berarti pindah jauh dengan gaji pas-pasan, biaya hidup tinggi, dan meninggalkan keluarga, Mundur berarti kehilangan pekerjaan dan penghasilan satu-satunya. Mereka tidak tahu harus bagaimana, dan selama ini tidak memiliki saluran resmi untuk menyampaikan kegelisahan mereka.
Ini Tentang Keadilan Sosial, Penempatan kerja memang urusan administrasi, tetapi penempatan yang mengabaikan kondisi ekonomi dan sosial buruh kontrak dengan gaji rendah adalah ketidakadilan sosial. Pembangunan infrastruktur jangan sampai mengorbankan mereka yang telah setia membantu negara membangunnya.
Seruan untuk Pemerintah Aceh dan DPRA, Isu ini bukan hanya urusan Kementerian PUPR atau BWS, ini adalah urusan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mereka yang terdampak ini adalah warga Aceh, yang kesejahteraannya juga menjadi tanggung jawab Pemerintah Aceh.
DPRA segera memanggil BWS Sumatra I Aceh untuk meminta penjelasan terkait pola penempatan ini.
Pemerintah Aceh menjalin komunikasi dengan Kementerian terkait untuk mengawal perlindungan hak pekerja Aceh.
Perlu kebijakan khusus agar penempatan pegawai kontrak mempertimbangkan keadilan daerah dan status ekonomi pegawai.
Pekerjaan Adalah Harapan, Bukan Perangkap, Bagi mereka, bekerja di BWS Sumatra I Aceh bukan hanya tentang menggantungkan hidup, tetapi juga tentang berkontribusi untuk Aceh. Jangan biarkan mereka dipaksa pindah dengan kondisi yang tidak manusiawi, atau memilih mundur dan jatuh ke jurang pengangguran baru. Jangan biarkan mereka merasa lulus seleksi adalah jalan menuju pemiskinan baru. Karena pekerjaan, bagi mereka, adalah harapan. Bukan perangkap.(*)