“Dibalap” di Tikungan Tender: Mengungkap Borok di Balik Proyek Pokir Anggota DPRA

  • Bagikan

Oleh: Redaksi Sarannews

BANDA ACEH | SaranNews – Penyakit kronis yang kerap menjangkiti proyek dari Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan kembali terkuak. Kasus carut-marut pembangunan tambak di Labuhanhaji Barat, Aceh Selatan, yang belakangan menjadi sorotan publik, ternyata hanyalah puncak dari gunung es dari sebuah permainan usang antara politisi dan rekanan.

Ini bukan sekadar cerita tentang tender yang salah prosedur atau penerima manfaat yang keliru. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah sistem yang dirancang untuk menyerap aspirasi rakyat justru dibajak menjadi ajang transaksi kepentingan.

Dari penelusuran yang dilakukan Sarannews melalui sumber terpercaya, biang keladi mencuatnya persoalan ini ke publik berawal dari kekecewaan. Jauh sebelum tender dimulai, proyek Pokir yang berasal dari seorang anggota DPRA Dapil IX, dari salah satu partai Lokal Aceh, periode sebelumnya (2019-2024), yang diidentifikasi berinisial “Gam2”, disebut-sebut telah “dibooking” atau dijanjikan kepada seorang rekanan tertentu.

Praktik semacam ini sudah menjadi rahasia umum. Sang dewan, yang meski tak lagi menjabat namun masih memiliki kuota Pokir pada anggaran 2025, diharapkan mampu “mengawal” proses tender agar dimenangkan oleh rekanan jagoannya.

Namun, harapan tinggallah harapan. Sistem lelang elektronik yang semakin ketat membuat proses pengawalan tidak lagi mudah. Walhasil, tender tersebut akhirnya “dibalap” oleh perusahaan lain yang mengajukan penawaran lebih kompetitif. Kekecewaan dari rekanan yang merasa janjinya diingkari inilah yang diduga menjadi pemicu utama semua masalah dalam proyek ini dibongkar ke publik.

Fenomena ini secara telanjang mempertontonkan bagaimana fungsi Pokir sering kali diselewengkan. Secara konsep, Pokir adalah instrumen mulia di mana anggota dewan memperjuangkan program pembangunan berdasarkan aspirasi yang mereka serap dari masyarakat di daerah pemilihannya. Namun dalam praktiknya, Pokir kerap bergeser menjadi “jatah” atau kuota proyek tahunan yang kemudian menjadi komoditas politik untuk dibagi-bagikan.

Di sisi lain, kasus ini juga menunjukkan dilema dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Tender elektronik (LPSE) dirancang untuk menjadi benteng transparansi dan persaingan sehat. Dalam kasus ini, benteng tersebut tampaknya berfungsi sebagaimana mestinya—rekanan yang diduga telah “membooking” proyek nyatanya bisa kalah. Namun, ironisnya, justru karena benteng ini tidak bisa ditembus, masalah baru muncul. Kegagalan politisi untuk memenuhi janji transaksionalnya memicu “serangan balik”.

Ini mengindikasikan bahwa meskipun sistem tender sudah diperbaiki, namun mentalitas dan praktik transaksional di hulu (saat perencanaan anggaran Pokir) belum tersentuh. Selama Pokir masih dianggap sebagai “proyek pribadi” anggota dewan, maka upaya untuk mengakali proses lelang akan terus terjadi.

Publik berhak tahu, proyek Pokir seorang anggota dewan dialokasikan untuk apa, di mana, dan atas dasar aspirasi siapa. Sudah saatnya ada transparansi total mengenai alokasi dana ini sejak dalam tahap perencanaan anggaran. Tanpa pembenahan di tingkat sistem dan mentalitas, maka setiap tahun kita hanya akan menyaksikan drama yang sama: proyek terbengkalai, kualitas buruk, dan kegaduhan publik yang semuanya berakar dari aspirasi rakyat yang ditransaksikan.[red]

Penulis: ZamzamiEditor: Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *