Universitas Syiah Kuala (USK), sebagai perguruan tinggi negeri kebanggaan Aceh dan salah satu PTN Badan Hukum (PTNBH) di Indonesia, kini menghadapi momen krusial dalam sejarah tata kelolanya. Laporan keuangan tahun 2024 menunjukkan capaian besar: realisasi belanja modal ratusan miliar rupiah untuk pembangunan gedung, pengadaan alat laboratorium, pengembangan sistem digital, serta investasi aset tak berwujud.
Secara administratif, semua tampak berjalan baik. Laporan audit yang dirilis secara resmi mencatat penggunaan anggaran yang sesuai, bahkan ada peningkatan signifikan pada sektor aset tetap—seperti bangunan, peralatan, hingga konstruksi dalam pengerjaan. Angka-angka ini mencerminkan geliat kemajuan fisik dan transformasi struktural di tubuh kampus Darussalam.
Namun, pertanyaan publik tidak berhenti pada “berapa yang dibelanjakan”, melainkan juga pada “bagaimana cara membelanjakannya”. Pada titik inilah, moralitas pengelolaan menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Sorotan terhadap Proses Pengadaan
Sebuah laporan investigasi media pada Mei 2025 menyorot kebijakan blacklist yang dijatuhkan oleh pihak universitas terhadap salah satu penyedia lokal. Masalah muncul karena pemutusan hubungan tersebut dianggap tidak melalui prosedur yang transparan, serta minim ruang klarifikasi atau hak jawab dari pihak yang dikenai sanksi.
Penggunaan kuasa administratif tanpa keterbukaan ini memunculkan pertanyaan etis: apakah prinsip fairness, proposionalitas, dan akuntabilitas benar-benar ditegakkan dalam setiap tahap pengadaan barang dan jasa di lingkungan USK?
Kritik juga datang dari para pemerhati kebijakan pendidikan tinggi dan aktivis transparansi anggaran. Mereka mengingatkan bahwa status PTNBH memang memberikan keleluasaan pengelolaan, tapi itu bukan carte blanche untuk bertindak sekehendak sendiri. Justru sebaliknya, dengan otonomi datang tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga integritas proses, bukan hanya hasil.
Harapan Publik terhadap Kampus sebagai Simbol Moral
Di tengah atmosfer publik yang kian peka terhadap praktik penyalahgunaan kewenangan, kampus mestinya menjadi teladan tata kelola. USK tidak hanya mewakili institusi pendidikan, tetapi juga simbol moral di mata masyarakat Aceh.
Ketika ada kontrak diputus tanpa dialog, ketika akses informasi pengadaan tertutup, ketika keluhan publik tidak dijawab dengan argumen rasional tetapi justru dengan kebijakan diam, maka legitimasi moral kampus mulai dipertanyakan. Ini bukan semata-mata soal hukum, melainkan soal rasa keadilan dan etika publik.
USK di Persimpangan: Beton atau Moralitas?
Pembangunan gedung bisa diselesaikan dalam hitungan bulan, tetapi membangun kepercayaan publik memakan waktu bertahun-tahun. Saat ini, USK berdiri di persimpangan: antara menjadi institusi modern yang sekadar rapi secara administratif, atau menjadi institusi akademik yang benar-benar hidup dalam nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keberpihakan kepada publik.
Kami di Redaksi SaranNews percaya bahwa kampus besar tak hanya diukur dari menara dan labnya, tetapi dari keberanian moral para pengelolanya untuk membuka diri, mengevaluasi diri, dan bersikap adil kepada semua pihak, termasuk mitra kerja lokal yang tumbuh bersama kampus ini dari masa ke masa.
USK punya peluang untuk berbenah. Momen ini bisa menjadi titik balik menuju tata kelola yang bukan hanya patuh terhadap prosedur, tetapi juga bermartabat di hadapan publik.
Audit bisa ditutup dengan tanda tangan. Tapi audit integritas hanya bisa ditutup dengan kejujuran.
USK, pilihan ada di tangan Anda. Jalan mana yang akan Anda ambil?
Redaksi SaranNews
Catatan: Tajuk ini merupakan opini redaksi, tidak dimaksudkan untuk menyudutkan individu atau lembaga tertentu, melainkan sebagai dorongan untuk memperbaiki praktik tata kelola lembaga pendidikan tinggi secara kolektif.