ACEH SELATAN – SaranNews | Kabar gembira itu datang laksana fajar yang menyingsing setelah malam panjang. Iin Ramadhani (19), putri seorang ibu tunggal dari Labuhanhaji, berhasil meraih beasiswa Program Aceh Carong untuk melanjutkan pendidikan ke Politeknik Aceh Selatan. Namun, di balik senyum syukur dan euforia, terbentang sebuah kisah perjuangan berlapis yang belum usai, di mana satu tantangan yang berhasil dilewati segera digantikan oleh rintangan baru.
Bagi Iin dan ibunya, Bu Ati, euforia kemenangan itu kini dihadapkan pada kenyataan pahit: jarak puluhan kilometer yang memisahkan rumah kontrakan mereka di Labuhanhaji dengan kampus di Tapaktuan. Bagi keluarga yang bahkan tak memiliki sepeda, jarak itu adalah jurang baru yang harus diseberangi. Iin kini harus bergantung pada bus angkutan umum setiap hari, atau mencari kamar kos yang biayanya menjadi beban baru. Harapan satu-satunya kini tertumpu pada ketersediaan asrama di kampusnya.
Tantangan ini hanyalah puncak dari gunung es kesulitan yang telah mereka hadapi selama bertahun-tahun. Perjuangan keluarga ini berakar dari ketiadaan tempat tinggal yang layak. Tercatat sebagai warga Gampong Dalam, Bu Ati dan anak-anaknya terpaksa hidup nomaden, berpindah dari satu kontrakan sempit ke kontrakan lain karena tak punya tanah dan rumah sendiri. Kini, mereka tinggal di Gampong Pawoh, di seberang jalan dari desa asal mereka, di sebuah rumah sewa tanpa listrik.
Semua beban itu dipikul oleh Bu Ati, seorang ibu tangguh asal Desa Blang Poroh. Setelah kembali dari perantauan, ia ditinggal pergi oleh sang suami yang tak pernah kembali, memaksanya menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Setiap hari, ia bekerja serabutan—menjadi tukang cuci gosok, buruh di warung kopi, atau pekerjaan apa pun yang bisa menghasilkan uang untuk makan.
Di tengah perjuangan hidup, mereka juga harus berjuang melawan tembok birokrasi. Proposal permohonan rumah bantuan yang diajukan ke Baitul Mal Aceh Selatan sejak 2023 masih menggantung tanpa kepastian. Bahkan, hak mereka untuk menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) nyaris dicabut hanya karena domisili mereka yang terpaksa berpindah ke seberang jalan dianggap di luar wilayah administrasi desa asal.
Melihat semua pengorbanan dan kesulitan itu, Iin Ramadhani mematri sebuah tekad di dalam hatinya. “Sejak lama saya bermimpi kuliah, walau rasanya mustahil,” ujar Iin. Mimpinya bukan sekadar untuk mengejar cita-cita pribadi, melainkan untuk membangun sebuah fondasi kehidupan yang lebih baik, sebuah rumah di mana ibu dan adik-adiknya tak perlu lagi merasa cemas.
Doa dan kerja keras itu akhirnya terjawab. Beasiswa Aceh Carong menjadi tiket emas yang membukakan pintu yang selama ini tampak tertutup rapat. Namun, Iin sadar betul bahwa ini barulah awal. Sepulang dari kampus nanti, ia akan tetap menjadi anak yang berbakti, membantu ibunya di pelabuhan.
“Ini adalah awal langkah saya untuk membuat hidup kami lebih baik,” ucapnya lirih, penuh makna.
Kisah Iin Ramadhani adalah potret nyata bahwa untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, dibutuhkan lebih dari sekadar semangat. Kemenangannya adalah bukti ketangguhan luar biasa, namun perjalanannya yang masih panjang adalah pengingat bahwa bantuan yang sepotong-sepotong seringkali tidak cukup untuk mengantar seorang anak miskin sampai ke garis finis pendidikannya.
Iin dengan harapannya, sang ibu bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak kedepannya ini untuk dapat menopang kebutuhan keluarga dan biaya untuk kuliahnya yang berupa kebutuhan diluar tanggungan Beasiswa Aceh Carong.[Red]