Bupati Mendengar, Tapi Tidak Semua Suara Ketika Warga Seuneubok Pusaka Berteriak di Tengah Kesunyian Pemerintah 

  • Bagikan

Oleh: Alizamzami 

“Negara hadir bukan hanya untuk mereka yang dekat, tetapi terutama untuk mereka yang paling terpinggirkan.”

Disudut pelosok Aceh Selatan, tepatnya di Desa Seuneubok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur Kabupaten Aceh Selatan, ratusan warga sedang mempertaruhkan harga diri dan hak mereka atas tanah.

Dengan mendirikan posko perjuangan di lokasi sengketa, menempuh perjalanan jauh ke Tapaktuan untuk menggelar konferensi pers, mereka tidak sekadar menuntut keadilan. Mereka menuntut eksistensi agar diakui di mata negara yang terlalu sering buta terhadap penderitaan rakyat kecil.

Namun ironisnya, di tengah momen penuh harapan, program 100 hari “Bupati Mendengar” dari kepala daerah baru, suara mereka justru tenggelam. 

Tak terdengar, tak tersapa, bahkan tak diakui. Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah pengkhianatan terhadap esensi demokrasi dan janji luhur jabatan publik.

***

Sengketa lahan antara warga Seuneubok Pusaka dengan PT Agro Sinergi Nusantara (ASN) bukanlah cerita baru. Sudah bertahun-tahun, tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan warga berubah menjadi sumber ketidakpastian. Bukannya mendapatkan perlindungan, mereka justru menghadapi tembok tebal birokrasi dan pembiaran sistemik.

Hari ini, warga mengambil jalan bermartabat,. berdiskusi, berkoordinasi, mendirikan posko, berbicara kepada media, menggunakan instrumen demokrasi sebagaimana mestinya. 

Mereka tidak membawa senjata. Mereka membawa suara. Suara yang seharusnya menjadi bahan bakar bagi program “Bupati Mendengar”, bukan malah diabaikan seperti dengung nyamuk di ruang kekuasaan yang nyaman.

Seorang pemimpin yang benar bukan hanya mendengarkan apa yang disodorkan dalam agenda resmi, tetapi terutama mendengar jeritan-jeritan yang tidak diundang, dari rakyat yang tidak punya kuasa.

***

Ketika Bupati Aceh Selatan H.Mirwan menggulirkan program “Bupati Mendengar” publik berhak berharap lebih dari sekadar seremoni.Sebab, secara bersamaan program tersebut harus diikuti dengan aksi “Bupati Bergerak” dan “Bupati Bertindak”.

Begitupun, Bupati harus responsif  dan mencari tahu, bukan menunggu laporan resmi. Bertanya, bukan menutup telinga.Turun langsung, bukan sekadar membaca tapi bergerak mewujudkan aksi nyata.

Fakta bahwa suara keras dari Seuneubok Pusaka tidak mendapatkan respon menunjukkan kelemahan pemimpin kita dalam memahami apa arti kepemimpinan berbasis empati dan keadilan.

***

Jika suara rakyat kecil terus diabaikan, maka yang membusuk bukan hanya tanah Seuneubok Pusaka, tetapi juga legitimasi pemerintahan itu sendiri.

Ketidakresponsifan di awal masa jabatan akan membuka ruang bagi krisis kepercayaan publik. Menyuburkan apatisme dan sinisme politik serta memperbesar potensi konflik sosial horizontal.

Pun demikian, memberikan kemenangan senyap kepada korporasi yang menggantungkan nasib mereka pada kelalaian negara.

Sejarah di berbagai daerah mengajarkan kita bagaimana konflik agraria yang diabaikan akan membesar, merembet, dan menghantam balik kekuasaan yang lalai. Peringatan ini bukan ancaman. Ini adalah hukum sosial yang sudah berkali-kali terkonfirmasi.

***

Ada adagium lama dalam gerakan keadilan  “Hak tidak akan datang sendiri, ia harus diperjuangkan.” Demikian pula keadilan bagi warga Seuneubok Pusaka. Mereka sudah melakukan bagian mereka: bersuara dengan damai, terorganisir, dan penuh keberanian.

Sekarang giliran pemerintah untuk melakukan bagiannya dengan cara buka dialog terbuka antara pemerintah, warga, dan PT ASN. Audit ulang status hukum lahan Seuneubok Pusaka secara independen.

Pastikan keadilan agraria, bukan hanya keadilan administratif. Karena jika negara tidak hadir untuk mereka, maka rakyatlah yang akan mengajarkan negara tentang keberanian, satu aksi, satu posko, satu konferensi pers pada satu waktu.

***

Seorang pemimpin tidak hanya diuji di hadapan kamera dan mikrofon. Ia diuji di hadapan jeritan rakyat kecil yang tidak pernah mendapatkan ruang dalam agenda resmi.

Suara warga Seuneubok Pusaka adalah ujian bagi integritas, kepekaan, dan keberanian Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan dibawah kepemimpinan H.Mirwan dan H.Baital Mukadis. 

Sejarah tidak menulis nama mereka yang menang pidato. Tapi sejarah akan mencatat mereka yang memilih berdiri di sisi rakyat, ketika pilihan itu tidak populer, tidak nyaman, dan penuh risiko. (*)

Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *