Aceh Selatan | Sarannews – Dua Paket proyek pembangunan rumah bantuan untuk korban bencana di Kabupaten Aceh Selatan Tahun Anggaran 2024 tercatat bermasalah. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan adanya kekurangan volume pekerjaan senilai total Rp19.933.650, namun sebagian dana sudah terlanjur dicairkan penuh oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim).
Temuan itu muncul dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2024. Pemeriksaan fisik dilakukan secara uji petik oleh tim auditor BPK bersama PPK, PPTK, penyedia jasa, dan konsultan pengawas, serta menelusuri dokumen kontrak dan progres lapangan. adapun dua proyek yang menjadi sorotan BPK adalah:
- Pembangunan Rumah Akibat Bencana (DOKA)
- Penyedia: CV GJU
- Nilai Kontrak: Rp470,64 juta
- Status: Dibayar lunas 100%
- Kekurangan volume: Rp10.799.887,96
- Pembangunan Rumah Akibat Bencana (APBK)
- Penyedia: CV TBU
- Nilai Kontrak: Rp234,5 juta
- Status: Baru dibayar 30%
- Kekurangan volume: Rp9.133.762,80
Kekurangan volume tersebut terungkap dalam pengukuran ulang fisik yang dilakukan BPK pada Februari 2025, setelah proyek dinyatakan selesai dan diserahterimakan pada akhir 2024.
BPK: Pembayaran Tak Sesuai Realisasi, LRA Jadi Lebih Saji, BPK menilai, kondisi tersebut melanggar prinsip akuntabilitas pengadaan barang dan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 dan regulasi LKPP. Pembayaran seharusnya hanya dilakukan atas pekerjaan yang benar-benar terpasang dan telah diverifikasi bersama.
Akibatnya, selain menimbulkan potensi kerugian keuangan daerah, realisasi anggaran dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) juga menjadi lebih saji (overstated), dan manfaat program bantuan sosial untuk korban bencana tidak tercapai secara optimal.
Kepala Dinas Perkim dan PPTK Dinilai Lalai, BPK menyebutkan, kelalaian dalam mengawasi pelaksanaan kontrak menjadi faktor utama terjadinya kelebihan pembayaran ini. Kepala Dinas Perkim sebagai Pengguna Anggaran (PA) tidak menjalankan fungsi pengendalian secara memadai, sementara PPTK dinilai kurang cermat dalam memverifikasi pelaksanaan di lapangan.
Menurut kajian hukum yang dihimpun redaksi, selain keharusan mengembalikan kelebihan pembayaran ke kas daerah, temuan ini berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi jika terdapat unsur kesengajaan, pembiaran, atau manipulasi data teknis.lanjutnya
Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut bahwa setiap penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara dapat dipidana minimal 4 tahun penjara.
“Jika PHO dan pembayaran dilakukan penuh padahal pekerjaan tidak sesuai volume, maka dapat masuk kategori penyalahgunaan kewenangan atau persekongkolan jahat antara penyedia dan pejabat kontrak. Bahkan jika ada pemalsuan dokumen teknis, bisa ditambahkan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat,” ujar salah seorang Aktivis Anti Korupsi kepada Sarannews.
Sementara itu, penyedia jasa seperti CV GJU yang terbukti menyerahkan pekerjaan di bawah volume namun menerima pembayaran penuh, juga dapat dimintakan pertanggungjawaban sebagai korporasi berdasarkan Perma 13 Tahun 2016 dan berisiko masuk daftar hitam (blacklist) penyedia.
“Bantuan rumah bagi korban bencana bukan proyek biasa. Saat volume fiktif dibayar lunas, ini bentuk kelalaian yang menghilangkan hak masyarakat terdampak,” ujar Aktivis kepada Sarannews.
Ia juga mendesak Pemkab Aceh Selatan agar tidak hanya menindak administrasi, tetapi juga mengevaluasi kinerja internal serta melakukan audit ulang teknis atas proyek-proyek sejenis lainnya.[]