Bongkar Isi Rancangan Dana Otsus 2026, Formaki Sebut Ada Potensi Sentralisasi Anggaran dan Ulangi Kesalahan Fatal

  • Bagikan

Kritik Terbuka Atas Rencana yang Dibahas Tertutup oleh Pemerintah Aceh dan DPRA

BANDA ACEH | Sarannews – Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) membeberkan sejumlah poin kritis yang dinilai berpotensi merugikan publik dari dalam dokumen Rancangan Alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan TDBH Migas Aceh 2026. Melalui siaran persnya, FORMAKI menjadikan temuan ini sebagai kritik terbuka terhadap substansi rencana yang saat ini tengah dibahas secara tertutup oleh Pemerintah Aceh dan DPRA.

Sorotan utama FORMAKI tertuju pada rencana alokasi 60% Dana Otsus yang akan dikelola langsung oleh Pemerintah Provinsi. Menurut Formaki, kebijakan ini berpotensi menyebabkan sentralisasi anggaran yang masif dan membuka celah subjektivitas dalam penentuan program.

“FORMAKI mempertanyakan dasar penetapan ‘program prioritas lain’ yang ditentukan Gubernur,” dalam siaran pers yang diterima redaksi, Selasa (22/7/2025). Ia menekankan bahwa klausul dalam Qanun No. 6 Tahun 2024 tersebut “sangat rentan disalahgunakan karena tidak memiliki parameter yang jelas dan terukur.”

Kritik paling tajam dilayangkan pada risiko terulangnya kesalahan fatal dalam perencanaan anggaran. menurut FORMAKI, Dokumen paparan itu sendiri secara jujur mengakui adanya kelemahan signifikan pada proses alokasi tahun 2025. Beberapa kelemahan yang diakui dalam dokumen tersebut antara lain “besaran proporsi tidak sama dengan yang digunakan dalam usulan alokasi Dana Otsus Aceh 2025”, “koreksi dalam data dasar”, dan “Formulasi regular murni ambigu”.

“Melihat catatan ini, kami menuntut Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menjawab secara substantif. Apa jaminan bahwa data yang digunakan untuk alokasi 2026 sudah akurat dan kesalahan perhitungan tidak akan terulang kembali?” tegas Ketua Formaki.

Poin ketiga yang diungkap adalah soal ketidakjelasan pendelegasian program TDBH Migas untuk kabupaten/kota. Penggunaan kata “dapat didelegasikan” dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2024 dinilai tidak memberikan jaminan bahwa pemerintah kabupaten/kota akan menerima pelimpahan wewenang untuk melaksanakan program yang menjadi haknya, sehingga berisiko memperpanjang rantai birokrasi.

Selain tiga poin utama tersebut, FORMAKI juga menyoroti adanya potensi celah dalam aturan penggunaan dana. Berdasarkan dokumen paparan yang merujuk pada PMK 33/2024, meskipun terdapat ‘negative list’ yang melarang penggunaan Dana Otsus untuk belanja aparatur, aturan tersebut memberikan pengecualian. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa OPD penunjang seperti Bappeda dan BPKAD dapat menggunakan Dana Otsus untuk kegiatan yang bersifat administratif seperti pembinaan, perencanaan, dan pengawasan. “Celah ini kami khawatirkan dapat menjadi justifikasi untuk membiayai kegiatan rutin birokrasi yang seharusnya menjadi beban APBD murni, sehingga berpotensi mengurangi porsi dana yang seharusnya dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujarnya.

Sebagai penutup, Ketua Formaki secara khusus menitipkan pesan kepada para anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRA yang telah menerima mandat dari rakyat. Menurutnya, rapat pembahasan ini adalah panggung pembuktian dimana setiap anggota dewan harus menjadi representasi sejati dari suara rakyat, bukan sekadar perwakilan partai atau kelompok. “Forum ini jangan sampai terdegradasi menjadi ruang negosiasi dan kompromi kepentingan elite. Setiap argumen harus didasarkan pada data dan kebutuhan objektif masyarakat di daerah pemilihan masing-masing. Objektivitas harus menjadi panglima, bukan bisikan kompromi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak,” Pungkas Ketua Formaki Alizamzami.[Red]

Penulis: DolyandaEditor: Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *