Baru Dibangun Harmonisasi, DPRA dan Polda Aceh Kembali Memanas?

  • Bagikan

Banda Aceh | SaranNews – Hanya berselang beberapa pekan setelah upaya memperkuat sinergi, hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Kepolisian Daerah (Polda) Aceh kembali diwarnai ketegangan. Polemik mencuat setelah Ketua DPRA, Zulfadhli, menuding adanya motif tersembunyi dalam pemanggilan Kelompok Kerja (Pokja) Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) oleh Polda Aceh(12/7).

Dalam keterangannya, Zulfadhli curiga bahwa pemanggilan tersebut bukan murni bagian dari penegakan hukum, melainkan berpotensi bermotif barter proyek. “Kalau benar itu yang terjadi, jelas menghambat pembangunan Aceh,” ujar Zulfadhli, seperti dilaporkan The Aceh Post dan beberapa media lainnya. DPRA disebut akan melayangkan surat resmi ke Ditreskrimsus Polda Aceh, Biro PBJ, dan Pokja untuk meminta klarifikasi terkait pemanggilan tersebut.

Padahal, baru pada awal September lalu Kapolda Aceh, Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah, sempat berkunjung ke DPRA(8/9). Dalam pertemuan itu, kedua belah pihak menegaskan pentingnya sinergi dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. “DPRA adalah mitra strategis kami untuk memastikan masyarakat merasakan kehadiran negara,” ungkap Kapolda, sebagaimana diberitakan SaranNews. Ketua DPRA saat itu menyambut baik komitmen tersebut, menegaskan bahwa sinergi merupakan kunci agar pembangunan dan ketenteraman dapat berjalan beriringan.

Namun, harmonisasi itu tampaknya rapuh. Situasi semakin kompleks setelah Panitia Khusus (Pansus) DPR Aceh merilis laporan mencengangkan tentang setoran gelap dari aktivitas tambang illegal (25/9). Laporan Pansus mengungkap bahwa terdapat sekitar 450 titik tambang ilegal di Aceh dengan lebih dari 1.000 unit alat berat yang beroperasi. Setiap unit disebut menyetor Rp30 juta per bulan kepada oknum penegak hukum, dengan total pungutan diperkirakan mencapai Rp360 miliar per tahun. Fakta ini dilaporkan Dialeksis.com dan beberapa media lainnya juga dan dinilai sebagai indikasi kuat adanya keterlibatan aparat dalam bisnis ilegal tersebut.

Persoalan ini menimbulkan ironi: di satu sisi, aparat kepolisian dan legislatif berupaya membangun citra sinergi; di sisi lain, tuduhan praktik “barter proyek” dan “setoran gelap” justru memicu publik mempertanyakan kredibilitas kedua institusi. Hingga kini, Polda Aceh belum memberikan klarifikasi resmi secara terbuka terkait tuduhan tersebut.

Ketegangan ini memperlihatkan betapa rapuhnya harmonisasi politik dan penegakan hukum di Aceh. Bagi masyarakat, yang terpenting bukan sekadar simbol sinergi, melainkan transparansi dan integritas lembaga negara dalam menjalankan tugas. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus terkikis. [red]

Penulis: ZamzamiEditor: redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *