Aceh Selatan|SaranNews – Anggota DPRK Aceh Selatan, Adi Samrida meminta kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk tidak memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT. Asdal Prima Lestari yang terletak di Kecamatan Trumon Timur Kabupaten Aceh Selatan.
Permintaan legislator Partai Aceh ini bukanlah tanpa alasan, sebab perusahaan tersebut hingga saat ini masih berkonflik dengan masyarakat setempat.
Begitupun, sejumlah kewajiban yang dimandatkan oleh aturan perundang-undangan tidak pernah dijalankan oleh perusahaan, seperti kebun plasma dan pengelolaan lingkungan.
“Contoh Konkritnya tidak terealisasi Perintah Gubermur Aceh untuk Plasma 30% dari keseluruhan HGU yg tercantum dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor :525/BP2T/4966/2011,” mantan sekretaris Partai Aceh Kabupaten Aceh Selatan, Jum’at 07 Februari 2025.
Lebih lanjut, jelas Adi, konflik antara warga dengan perusahaan sudah berlangsung sejak tahun 1996. Konflik ini berawal dari terhentinya aktivitas perkebunan warga karena konflik RI-GAM kala itu . Paska damai, warga memulai kembali menggarap lahan yang sudah di tinggalkan saat masa konflik.
Warga yang berkonflik berasal dari Desa Kapa Sesak, Alue Bujok dan Titie Poben, Kecamatan Trumon Timur, Aceh Selatan. Tidak hanya itu, perusahaan perkebunan tersebut juga berkonflik dengan warga Sultan Daulat, Subulussalam. Karena HGU PT. Asdal berada di dua wilayah administrasi, Aceh Selatan dan Kota Subulussalam.
Masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik untuk mengembalikan kedaulatan terhadap wilayah kelolanya yang dirampas oleh koorporasi. Namun sampai hari ini, konflik tersebut tidak kunjung selesai. Justru mendapatkan kabar bahwa pihak perusahaan sudah memasuki fase perpanjangan HGU yang akan berakhir pada tahun 2031.
“Puluhan kali aksi massa, kampanye media, dialogis dengan pemerintah kabupaten dan provinsi, dan beragam upaya lain telah dilakukan oleh masyarakat.Bahkan pada tahun 2009 anggota DPRK Aceh Selatan telah meninjau lahan sengketa tersebut, dan ditemukan sejumlah bukti fisik seperti pemakaman umum, bekas pemukiman, dan sejumlah tanaman tua yang ditanami warga dulu.” ujar Adi Samrida.
Bahkan, pada tahun 2010, Bupati Aceh Selatan bersama Kapolres turun ke lapangan melakukan audiensi penyelesaian kasus, hingga pada tahun 2016 DPRK membentuk panitia khusus penyelesaian konflik. Pada 24 November 2009 Bupati Aceh Selatan menyurati PT. APL untuk menghentikan sementara aktivitas di lahan sengketa
“Meskipun berbagai upaya telah dilakukan selama fase konflik, namun kasus tersebut belum kunjung selesai. Justru yang terjadi berbagai intimidasi terhadap masyarakat dengan berbagai tuduhan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Sebelumnya, sejumlah warga dilaporkan ke pihak kepolisian, tanaman warga dirusak, dan berbagai bentuk intimidasi lainnya sehingga lahan warga yang telah dikelola secara turun temurun tidak dapat dikelola secara produktif,” sebut Adi Samrida.
Adi Samrida menambahkan, fase perpanjangan HGU PT. Asdal harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk menyelesaikan konflik tersebut secara permanen.
Untuk itu, dirinya meminta kepada Kementerian ATR/BPN untuk tidak memperpanjang HGU PT. Asdal sebelum semua masalah dengan masyarakat selesai. Begitupun, pemerintah Aceh Selatan dan semua stakeholder untuk mengawal proses ini.
“Konflik yang terjadi di HGU PT Asdal harus menjadi pembelajaran penting bagi Aceh Selatan dalam agenda pembangunan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Untuk itu, penting juga dilakukan evaluasi semua izin sektor pengelolaan sumber daya alam, termasuk sektor perkebunan dilakukan evaluasi secara menyeluruh,” tutup Adi Samrida.(*)