Banda Aceh. | Sarannews – Aliansi Rakyat Aceh (ARA) hari ini secara resmi mengajukan surat permohonan pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Langkah tegas ini diambil sebagai bentuk desakan atas ketiadaan tindak lanjut dan pengabaian DPRA terhadap tujuh tuntutan pokok yang disuarakan ribuan massa dalam aksi pada 1 September 2025 lalu.
Sejak aksi damai yang melibatkan ribuan masyarakat dan mahasiswa, Aliansi Rakyat Aceh terus memantau dan mengawal janji-janji yang telah ditandatangani oleh Ketua DPRA. Namun, hingga tanggal 8 September 2025, ARA mencatat belum ada upaya konkret maupun langkah serius dari pihak DPRA untuk merealisasikan tuntutan tersebut.
“Kami telah mendesak DPRA pada konferensi pers 4 September lalu agar RDPU segera dilaksanakan, selambat-lambatnya hari Senin, 8 September. Namun, tidak ada respons. Oleh karena itu, sebagai bentuk sikap tegas, hari ini kami memasukkan surat permohonan RDPU untuk dapat segera dilaksanakan pada hari Kamis, 11 September 2025,” tegas perwakilan ARA dalam konferensi persnya.
ARA khawatir bahwa penandatanganan tuntutan di hadapan massa aksi hanyalah seremoni semata yang bertujuan mencari popularitas, tanpa komitmen nyata untuk menindaklanjuti. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa janji-janji serupa kerap dilupakan setelah massa membubarkan diri.
Tujuh Tuntutan Pokok Aliansi Rakyat Aceh (ARA) adalah :
- Reformasi DPR: Mendesak reformasi menyeluruh untuk meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas kinerja dewan.
- Reformasi POLRI: Menuntut reformasi institusi kepolisian demi penegakan hukum yang adil dan transparan.
- Penyelesaian Pelanggaran HAM di Aceh: Mendesak penuntasan dan pengungkapan tegas kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh, terutama di masa konflik, setelah 20 tahun Aceh damai.
- Evaluasi Menyeluruh Tambang di Aceh: Menuntut evaluasi total terhadap seluruh aktivitas pertambangan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial, serta memitigasi dampak kerusakan lahan, deforestasi, pencemaran air, tanah, dan polusi udara.
- Pembebasan Tahanan Aksi: Mendesak pembebasan segera rekan-rekan yang ditangkap saat aksi, sebagai jaminan atas kebebasan berekspresi dan berkumpul sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3.
- Transparansi Dana Otsus Aceh: Menuntut transparansi total dalam penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh, memastikan alokasi yang efektif dan berkeadilan sesuai semangat damai untuk pengentasan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan.
- Penolakan Penambahan Batalyon Teritorial: Menolak rencana penambahan Batalyon Teritorial di Aceh yang dinilai bertentangan dengan MoU Helsinki 2005 dan UUPA 2006. ARA juga menuntut transparansi jumlah tentara organik di Aceh, khawatir wacana ini membangkitkan kembali luka masa lalu masyarakat.
ARA juga menyinggung pernyataan politikus terkait wacana pisah dari pusat. “Bagi kami, kata ‘merdeka‘ seolah menjadi barang dagangan politik yang mudah diperjualbelikan. Jangankan pisah dari Indonesia, menjalankan pemerintahan provinsi dengan baik, memenuhi hak korban konflik, atau menyejahterakan masyarakat saja belum tentu mereka mampu. Lantas, mengapa segampang itu bicara pisah?” ujar perwakilan ARA, menegaskan bahwa hal ini menyangkut hajat hidup banyak orang.
Aliansi Rakyat Aceh dengan tegas mengingatkan, “Tragedi KKA, Rumoh Geudong, Jamboe Keupok, Arakundo – Kami Menolak Lupa!!!” Mereka berkomitmen untuk terus mengawal agar semua tuntutan dapat direalisasikan sepenuhnya.