Belum genap 100 hari menjabat, pucuk pimpinan baru di Kabupaten Aceh Selatan sudah membuat keputusan yang menimbulkan kegaduhan publik.
Kebijakan yang mengatasnamakan efisiensi anggaran justru dinilai sebagai langkah yang keliru, bahkan memalukan.
Di tengah ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya kepemimpinan baru yang solutif, justru muncul kebijakan yang tampak gegabah dan terburu-buru, tidak transparan, dan tidak berpihak pada rakyat kecil.
Efisiensi atau Justru Pemborosan Sosial?
Secara teori, efisiensi anggaran adalah langkah positif. Namun dalam praktik, efisiensi tidak berarti asal memangkas tanpa arah yang jelas.
Tanpa kajian mendalam, transparansi, serta komunikasi yang baik kepada publik, efisiensi justru bisa menjadi pemborosan sosial: mengorbankan program penting, menciptakan keresahan, bahkan mencederai kepercayaan publik.
Alih-alih memperlihatkan perbaikan dalam tata kelola pemerintahan, kebijakan ini justru memperlihatkan lemahnya koordinasi dan buruknya proses pengambilan keputusan.
Apakah ini cermin dari ketidaksiapan dalam memimpin? Atau justru simbol dari kegagalan membaca kebutuhan rakyat secara nyata?
100 Hari yang Mestinya Jadi Fondasi, Bukan Kontroversi
Seratus hari pertama adalah masa emas untuk menunjukkan arah, ketegasan, dan keberpihakan pada rakyat. Sayangnya, di Aceh Selatan, justru muncul sinyal yang sebaliknya.
Bukannya menciptakan kepercayaan, pemerintah daerah justru membuka ruang ketidakpercayaan dan kecemasan di tengah masyarakat.
Keputusan yang diambil tanpa melibatkan publik, tanpa transparansi data, dan tanpa mekanisme kontrol yang jelas adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip tata kelola yang baik.
Pemerintah tidak bisa berjalan seperti menutup telinga dari suara rakyat. Apalagi di daerah yang punya sejarah panjang soal konflik, ketidakadilan, dan sensitif terhadap kebijakan-kebijakan elitis.
Komunikasi Pemerintah yang Buruk, Rakyat yang Jadi Korban
Dalam krisis kebijakan, komunikasi yang baik adalah kunci. Namun sayangnya, pemerintah Aceh Selatan gagal menjaga komunikasi publik.
Parahnya lagi, tidak ada klarifikasi resmi yang menjelaskan alasan kebijakan, tidak ada pelibatan tokoh masyarakat atau DPRK, dan tidak ada pendekatan persuasif kepada masyarakat yang mulai kecewa.
Akibatnya, ketika suara rakyat tidak ditanggapi secara terbuka dan santun, maka ruang kosong itu akan diisi oleh spekulasi, kecurigaan, bahkan penolakan.
Begitupun,ini bukan hanya soal manajemen anggaran, tetapi juga soal kepercayaan sosial. Dan ketika kepercayaan publik rusak di awal masa jabatan, maka akan sangat sulit membangunnya kembali.
Waktunya Koreksi, Bukan Pembenaran
Pemerintah Aceh Selatan harus berani mengakui bahwa ada kesalahan dalam pengambilan keputusan ini. Tidak cukup hanya menyalahkan pihak tertentu atau memberikan pembenaran yang normatif. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret dan terukur untuk mengoreksi arah.
Beberapa hal yang perlu segera dilakukan:
1. Evaluasi total kebijakan efisiensi anggaran, termasuk mengaudit proses penyusunan dan pihak-pihak yang terlibat.
2. Buka data ke publik, agar masyarakat tahu apa dasar kebijakan tersebut dan bagaimana dampaknya bagi pelayanan umum.
3. Libatkan semua unsur masyarakat, termasuk DPRK, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, dan LSM lokal dalam forum terbuka.
4. Bangun kembali kepercayaan dengan komunikasi publik yang jujur, terbuka, dan rendah hati.
Menatap ke Depan: Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama
Polemik ini harus dijadikan peringatan keras bahwa kepemimpinan bukan hanya soal siapa yang menjabat, tetapi soal bagaimana memimpin. Sebab, Rakyat Aceh Selatan tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin pemimpinnya jujur, transparan, dan peduli.
Kepemimpinan yang hebat adalah kepemimpinan yang sanggup mengakui kesalahan dan memperbaikinya dengan cepat. Jika pemerintah Aceh Selatan benar-benar ingin membawa perubahan, maka perubahan itu harus dimulai dari cara mereka mendengar suara rakyat.
Tentang Penulis
Alizamzami, adalah seorang aktivis sosial dan mantan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah melanglang buana ke Manca Negara dalam menjalankan aktivitas misi kemanusiaan. Pernah menjabat sebagai Ketua Korban Konflik se-Aceh dan aktif dalam advokasi korban pelanggaran HAM melalui organisasi Nasional Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) di Jakarta.
Penulis juga pernah tercatat sebagai bagian dari tim KontraS Aceh pada masa konflik, pasca tsunami dan pasca MoU helsinki, dengan fokus pada isu keadilan transisional dan rekonsiliasi, dan saat ini memimpin sebuah LSM Anti Korupsi (FORMAKI), yang juga terus menyuarakan isu-isu kerakyatan dan ketidakadilan melalui kanal publik dan tulisan opini.(*)