APBA-P 2025 di Aceh Terancam Batal, KUA-PPAS Tak Kunjung Diserahkan oleh Eksekutif ke DPR Aceh

  • Bagikan

Banda Aceh | SaranNews – Polemik keterlambatan penyampaian Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Perubahan Tahun Anggaran 2025 semakin mencuat. Hingga memasuki akhir September, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengaku belum menerima dokumen dari Pemerintah Aceh. Kondisi ini memunculkan sinyal bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Perubahan (APBA-P) berpotensi batal total.

Regulasi yang Mengikat

Berdasarkan PP No.12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah serta Permendagri No.77/2020, tahapan perubahan APBD memiliki jadwal ketat. KUA-PPAS Perubahan wajib diserahkan ke legislatif paling lambat awal Agustus, agar kesepakatan bisa diraih sebelum 30 September. Apabila batas waktu ini terlewati, maka perubahan APBD tidak dapat dilaksanakan.

“Faktanya sampai sekarang kami belum menerima KUA-PPAS dari Pemerintah Aceh. Tanpa itu, kami tidak punya dasar untuk membahas APBA-P,” ungkap seorang anggota DPRA kepada sarannews, Minggu (21/9).

Artinya, secara normatif, ruang regulasi untuk APBA-P 2025 hampir tertutup. Pemerintah Aceh hanya bisa melanjutkan pelaksanaan APBA murni tanpa ada fleksibilitas perubahan.

Implikasi Fiskal

Konsekuensi dari tidak terlaksananya APBA-P sangat besar:

  • SILPA 2024 tak bisa dimanfaatkan untuk mendukung program berjalan.
  • Dana Transfer Pusat (seperti Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, serta penyesuaian lainnya) tidak dapat disesuaikan dengan kondisi terbaru.
  • Program prioritas yang mendesak—mulai dari penanggulangan banjir, peningkatan layanan kesehatan, hingga penyelesaian proyek strategis—terancam tertunda.

Dengan demikian, publik akan merasakan langsung dampak dari kelumpuhan regulasi ini.

Dinamika Politik di Balik Keterlambatan

Sejumlah analis menilai keterlambatan ini tidak sekadar masalah administratif, tetapi erat terkait tarik-menarik politik. Eksekutif dituding lalai atau sengaja menunda, sementara legislatif memilih menunggu bola.

“Kalau APBA-P batal, fleksibilitas anggaran praktis hilang. Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan? Bisa jadi pihak-pihak yang ingin menahan ruang negosiasi dan menjaga status quo APBA murni,” kata seorang pengamat kebijakan publik di Banda Aceh.

Situasi ini menambah catatan buruk hubungan eksekutif-legislatif di Aceh, yang dalam beberapa tahun terakhir kerap diwarnai ketegangan politik, terutama soal alokasi dana aspirasi hingga distribusi proyek strategis.

Dampak Sosial dan Kepercayaan Publik

Bagi masyarakat, polemik ini hanya menambah daftar panjang kekecewaan atas pengelolaan keuangan daerah. Transparansi rendah, akuntabilitas lemah, dan dominasi kepentingan politik elite menjadi alasan mengapa ruang fiskal Aceh kerap terhambat.

“Di saat rakyat menunggu program bantuan dan infrastruktur dasar, elit justru sibuk dengan manuver politik. Ini sangat merugikan masyarakat,” kritik seorang aktivis antikorupsi dari Formaki saat dimintai tanggapan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kegagalan menjalankan APBA-P 2025 bukan semata soal teknis administrasi, melainkan cermin dari lemahnya tata kelola dan buruknya sinergi politik di Aceh. Publik kembali dipaksa menanggung akibat dari kebuntuan anggaran yang seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan. [red]

Penulis: ZamzamiEditor: redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *