Banda Aceh | SaranNews – Polemik batalnya tender lanjutan pembangunan RS Rujukan Regional dr. Yulidin Away Tapaktuan senilai Rp15,9 miliar semakin menuai sorotan. Setelah proses tender selesai dengan menetapkan pemenang, tiba-tiba proyek dibatalkan dengan alasan klasik: “waktu pelaksanaan tidak mencukupi”. Publik pun bertanya: apakah anggaran ini akan kembali menjadi SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) di akhir tahun?
LSM Formaki menilai, kegagalan ini bukan sekadar teknis, melainkan berpotensi membuka ruang konflik kepentingan dan permainan mafia proyek. “Selisih HPS dan pagu yang sangat tipis, dokumen teknis yang minim, dan alasan pembatalan di ujung tahun adalah pola berulang dalam kasus tender bermasalah,” ungkap Formaki dalam rilis analisis investigatifnya.
Spekulasi & Skenario Risiko
Formaki memetakan beberapa skenario yang mungkin terjadi di balik pembatalan ini:
- Pengondisian Lelang – ruang kompetisi yang sempit berpotensi menguntungkan pihak tertentu.
- Konflik Kepentingan Elite – tarik-menarik kepentingan politik dan birokrasi bisa memengaruhi keputusan administratif.
- Bypass Waktu – pembatalan di akhir tahun kerap dimanfaatkan untuk menggiring ulang proyek agar lebih “terkendali”.
“Apapun motif di balik keputusan ini, publik dirugikan. Yang dipertaruhkan adalah layanan kesehatan di wilayah pantai barat selatan Aceh, bukan sekadar angka proyek,” tegas Formaki.
Jalan Penyelamatan Anggaran
Meski hampir mustahil mengerjakan fisik proyek senilai Rp15 miliar hanya dalam sisa 3 bulan, Formaki menilai masih ada ruang regulasi untuk menyelamatkan dana publik tersebut:
- Tender ulang single year 2025: praktis tidak efektif; berpotensi tetap SILPA.
- APBA-P 2025 tanpa multiyears: waktu terbatas, risiko besar tetap gagal.
- Pengadaan dini APBA 2026: aman secara hukum, tapi 2025 tetap SILPA.
- Multiyears 2025–2026: opsi paling logis; dana 2025 bisa diikat kontrak dan proyek dilanjutkan tahun depan. Syaratnya, perlu persetujuan DPR Aceh dan revisi APBA.
- Pengalihan ke kegiatan lain: bisa tekan SILPA, tapi tujuan utama pembangunan RS batal tercapai.
“Kalau Pemprov serius, skema multiyears adalah satu-satunya langkah regulatif yang bisa mencegah anggaran ini jadi SILPA. Tapi itu butuh keberanian politik dan kecepatan keputusan. Jika tidak, publik akan menilai Pemerintah Aceh gagal total,” ujar Formaki.
Siapa yang Harus Bertindak?
Formaki menegaskan, penyelamatan anggaran ini bukan sekadar kewenangan teknis, melainkan keputusan strategis:
- Gubernur Aceh harus memimpin koreksi kebijakan.
- Dinas Kesehatan Aceh bersama BPBJ wajib menyusun ulang dokumen dan jadwal realistis.
- DPRA perlu memberikan persetujuan multiyears atau penganggaran ulang.
- Inspektorat, LKPP, dan BPKP harus melakukan reviu independen agar keputusan berbasis bukti, bukan tekanan politik.
Penutup
Formaki mengingatkan bahwa dana Rp15,9 miliar ini bukan sekadar angka, melainkan harapan ribuan warga di pantai barat selatan Aceh untuk mendapatkan layanan kesehatan layak. Gagalnya proyek berarti pemerintah membiarkan hak publik tertunda. “Jangan biarkan anggaran kembali menjadi SILPA hanya karena perencanaan yang buruk dan tarik-menarik kepentingan elite,” pungkas Formaki. [red]