Dianggap Langgar UU Perlindungan Konsumen, Aktivis Desak Pertamina Sanksi Tegas SPBU Lamnyong Banda Aceh

  • Bagikan

BANDA ACEH – SaranNews | Kasus keluhan konsumen di SPBU Pertamina kawasan Lamnyong, Banda Aceh, yang kehabisan stok Pertamax tanpa pemberitahuan pada Minggu (14/9/2025), memasuki babak baru. Kalangan aktivis kini menyoroti peristiwa tersebut dari kacamata hukum, menyebut tindakan pihak SPBU tidak hanya merugikan secara waktu, tetapi juga berpotensi melanggar regulasi yang berlaku tentang hak konsumen dan tata kelola migas.

Seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu kebijakan publik dan perlindungan konsumen di Banda Aceh, memberikan analisis tajamnya kepada sarannews. Menurutnya, tindakan SPBU yang tidak memasang pengumuman merupakan bentuk pengabaian hak fundamental konsumen yang dijamin oleh negara.

Pelanggaran Hak Konsumen dan Kewajiban Pelaku Usaha

Secara yuridis, aktivis tersebut menjelaskan bahwa tindakan SPBU tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Dalam Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen, disebutkan secara eksplisit bahwa konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Ketiadaan pengumuman tentang stok Pertamax yang kosong adalah pelanggaran langsung terhadap hak ini,” paparnya.

Ia menambahkan, kelalaian ini juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 huruf b undang-undang yang sama, yang mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang. Dengan tidak adanya informasi, SPBU selaku pelaku usaha telah gagal memenuhi kewajiban hukumnya.

Regulasi Sektor Migas dan Konsekuensi Hukum

Lebih jauh, ia mengaitkan masalah ini dengan regulasi di sektor hilir minyak dan gas bumi. Sebagai badan usaha penyalur BBM yang beroperasi di bawah pengawasan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), setiap SPBU memiliki tanggung jawab untuk menjamin kelancaran dan ketertiban distribusi energi kepada masyarakat.

“Pelayanan publik yang prima adalah bagian dari mandat tata kelola migas. Mengabaikan komunikasi dasar kepada publik saat terjadi kendala pasokan menunjukkan lemahnya standar operasional dan profesionalisme. Ini bukan sekadar masalah etika bisnis, tapi sudah masuk ke ranah kepatuhan terhadap regulasi,” tegasnya.

Terkait konsekuensi hukum, ia mengingatkan bahwa UU Perlindungan Konsumen memuat sanksi yang tidak ringan. Pelanggaran terhadap kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen, yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah).

“Oleh karena itu, desakan kami agar Pertamina memberikan sanksi tegas kepada SPBU Lamnyong sangat beralasan. Sanksi bisa berupa teguran keras, pembinaan ulang, hingga evaluasi izin operasional jika pelanggaran serupa terus berulang. Ini penting untuk menciptakan efek jera dan memastikan hak-hak konsumen di seluruh Indonesia dihormati,” tutupnya.[Mw]

Penulis: Mersal WandiEditor: redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *