BANDA ACEH | SARANNEWS – Pengunduran diri Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Aceh, dr. Munawar, Sp.OG, dan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA), dr. Isra Firmansyah, Sp.A, PhD, menuai sorotan tajam. LSM Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Formaki) menduga langkah tersebut merupakan upaya lari dari tanggung jawab atas sejumlah temuan serius Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2024.
Meskipun keduanya secara resmi beralasan ingin kembali ke jabatan fungsional, Formaki mendesak Gubernur Aceh untuk tidak memproses penempatan baru sebelum seluruh rekomendasi BPK dituntaskan. Berdasarkan siaran pers yang diterima redaksi Sarannews, Selasa (26/8/2025), Formaki membeberkan sejumlah temuan BPK yang mengindikasikan adanya carut-marut pengelolaan anggaran di kedua instansi vital tersebut.
“Pengunduran diri ini tidak boleh menjadi cara untuk melepaskan tanggung jawab. Kami mempertanyakan, apakah seluruh rekomendasi BPK atas temuan di Dinas Kesehatan dan RSUDZA sudah tuntas ditindaklanjuti?” tulis Formaki dalam rilisnya. “Jangan sampai pengunduran diri ini menjadi preseden buruk, seolah-olah lari dari masalah adalah sebuah solusi.”
Anggaran Jebol dan Obat Kedaluwarsa di RSUDZA
Menurut analisis Formaki terhadap LHP BPK, ditemukan masalah fundamental dalam tata kelola keuangan BLUD RSUDZA. Salah satu temuan paling fatal adalah realisasi belanja yang melebihi pagu anggaran.
“Anggaran belanja RSUDZA ditetapkan sebesar Rp951,99 miliar, namun realisasinya membengkak hingga Rp1,014 triliun. Terjadi pelampauan anggaran lebih dari Rp62 miliar,” ungkap Formaki. Hal ini dinilai menunjukkan lemahnya pengendalian dan disiplin anggaran di bawah kepemimpinan direktur sebelumnya.
Selain itu, BPK juga menyoroti adanya tumpukan obat-obatan dan bahan medis habis pakai yang kedaluwarsa di gudang farmasi rumah sakit. Formaki menyebut ini sebagai “kegagalan total dalam manajemen inventaris” dan pemborosan uang rakyat yang nyata.
Kelemahan Sistemik di Dinas Kesehatan
Sementara itu, di Dinas Kesehatan Aceh, BPK menemukan adanya masalah yang lebih sistemik dan mendasar. Kelemahan pada Sistem Pengendalian Intern (SPI) menjadi sorotan utama, yang dianggap sebagai akar dari berbagai masalah turunan.
“Lemahnya SPI adalah pintu gerbang menuju korupsi. Kadiskes, sebagai pucuk pimpinan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kerapuhan sistem ini,” tegas Formaki.
Sama seperti di RSUDZA, gudang farmasi Dinas Kesehatan juga ditemukan menjadi tempat penumpukan obat kedaluwarsa, yang menunjukkan masalah kronis dalam perencanaan pengadaan dan distribusi. BPK juga mencatat adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan program dan kegiatan dinas.
Menyikapi deretan temuan ini, Formaki mendesak aparat penegak hukum untuk proaktif menelaah LHP BPK tersebut, khususnya terkait potensi kerugian negara.
“Kami menuntut Gubernur Aceh untuk menjadikan LHP BPK TA 2024 sebagai dasar utama evaluasi. Kami juga meminta Inspektorat Aceh dan DPRA untuk segera memanggil dan meminta pertanggungjawaban mantan Kadiskes dan Direktur RSUDZA,” tutup Formaki dalam pernyataannya.
Sebelumnya, pengunduran diri kedua pejabat tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Badan Kepegawaian Aceh, Abdul Qahar, pada Senin (25/8/2025) malam. Abdul Qahar menyatakan bahwa Gubernur Aceh akan segera menetapkan Pelaksana Harian (Plh) untuk memastikan roda kerja di kedua instansi tersebut tetap berjalan lancar.[]