WTP Ke-10 Abdya Dikelilingi Tanda Tanya, FORMAKI Desak Transparansi Tindak Lanjut Temuan Kritis BPK

  • Bagikan

BLANGPIDIE – sarannews | Di balik perayaan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ke-10 yang diraih Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat Daya (Abdya), muncul pertanyaan serius dari kalangan masyarakat sipil. Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) mendesak Pemkab Abdya untuk segera memberikan penjelasan publik mengenai tindak lanjut atas sejumlah temuan kritis dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Aceh tahun anggaran 2024.

Tenggat waktu 60 hari bagi Pemkab Abdya untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK diketahui telah berakhir pada 22 Juli 2025. Namun, hingga kini belum ada informasi transparan mengenai langkah-langkah perbaikan yang telah diambil, terutama terkait temuan yang mengindikasikan potensi kerugian negara dan kelemahan tata kelola.

“Opini WTP bukanlah tujuan akhir, melainkan titik awal untuk perbaikan. Merayakan WTP tanpa menindaklanjuti temuan-temuan krusial BPK adalah sebuah ironi. Publik berhak tahu apakah potensi kerugian negara telah dipulihkan,” ujar Ketua Umum FORMAKI, Alizamzam, dalam siaran pers yang diterima redaksi, Kamis (21/8/2025).

FORMAKI menyoroti tiga temuan utama BPK yang dinilai sangat mendesak untuk segera dijelaskan tindak lanjutnya oleh pemerintah daerah.

Pertama, adanya potensi kerugian daerah yang totalnya mencapai Rp1,01 miliar. Angka ini berasal dari temuan kelebihan pembayaran pada 16 paket pekerjaan di Dinas PUPR sebesar Rp898,42 juta akibat kekurangan volume, serta kelebihan pembayaran pada 10 paket belanja barang untuk masyarakat senilai Rp111,63 juta.

“Pertanyaan kami sederhana, sudahkah dana miliaran rupiah tersebut ditagih dan disetorkan kembali ke kas daerah? Ini bukan soal angka kecil, ini menyangkut akuntabilitas penggunaan uang rakyat,” tegas Alizamzam.

Kedua, FORMAKI menyoroti temuan aliran dana yang dinilai tidak wajar sebesar Rp1,27 miliar dari dana BLUD RSUD Teungku Peukan. Dana tersebut dibayarkan sebagai “jasa koordinasi” kepada sejumlah pejabat teras daerah, yang menurut BPK tidak sesuai ketentuan. FORMAKI mempertanyakan apakah Peraturan Bupati yang menjadi dasar pembayaran tersebut telah dicabut atau dihentikan sesuai rekomendasi BPK.

Ketiga, persoalan klasik terkait kebocoran potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor PBB-P2. LHP BPK kembali mengungkap bahwa basis data wajib pajak tidak pernah diperbarui sejak 2013, menyebabkan piutang PBB-P2 membengkak hingga Rp21,08 miliar.

“Ini adalah pembiaran sistemik yang berlangsung lebih dari satu dekade. Langkah konkret apa yang telah diambil untuk memutakhirkan basis data usang ini? Sudahkah Perbup tentang tata cara pemungutan PBB-P2 diterbitkan?” tanya FORMAKI.

Atas dasar itu, FORMAKI mendesak Bupati dan Pimpinan DPRK Aceh Barat Daya untuk memberikan penjelasan terbuka mengenai status tindak lanjut rekomendasi BPK. Formaki juga mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk proaktif menelaah temuan-temuan yang berindikasi kerugian negara, serta meminta Inspektorat Daerah untuk memperkuat fungsi pengawasan internal agar temuan serupa tidak terus menjadi catatan tahunan. [red]

Penulis: Mersal WandiEditor: Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *