Banda Aceh | Pemerintah Kota Banda Aceh memang kembali menerima opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI atas LKPD Tahun Anggaran 2024. Prestasi administratif ini patut diapresiasi sebagai hasil kerja teknokratik dalam menyajikan laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintah. Namun, publik tidak boleh terkecoh oleh keindahan statistik di atas kertas.
Di saat WTP dikibarkan sebagai simbol keberhasilan, fakta lain yang lebih genting justru tertulis dalam lembaran yang sama: beban utang pemerintah kota melonjak dari Rp46,6 miliar di akhir 2023 menjadi Rp111,2 miliar pada 31 Desember 2024. Lonjakan ini bukan sekadar angka, melainkan alarm fiskal yang harus ditanggapi secara jujur dan transparan.
Utang yang membengkak artinya ada kewajiban masa lalu yang belum tertunaikan dan dibebankan kepada anggaran masa depan. Konsekuensinya jelas: ruang fiskal 2025 akan semakin sempit, prioritas pembangunan bisa tersendat, dan pelayanan publik terancam stagnan. WTP tidak serta-merta berarti pengelolaan keuangan sehat jika faktanya pemerintah tidak mampu membayar kewajiban belanja secara tepat waktu.
Yang lebih memprihatinkan, tidak ada kanal informasi publik yang secara terbuka menunjukkan bagaimana Pemko menindaklanjuti lonjakan utang ini. Padahal, sebagai bagian dari opini BPK, Pemko telah menyusun Rencana Aksi Tindak Lanjut atas rekomendasi BPK. Dalam dokumen LHP BPK itu tercantum target waktu 60 hari untuk menyelesaikan sejumlah persoalan sejak dokumen ditandatangani oleh Walikota Banda Aceh pada Tanggal 21 Mai 025, termasuk penataan kembali pengelolaan kas daerah, pemutakhiran utang pihak ketiga, dan penguatan kontrol atas BLUD.
Sayangnya, publik belum diberi tahu: apakah rencana itu sudah dijalankan? Apa indikator keberhasilannya? Sudah sejauh mana capaian 60 harinya yang sudah terlewati saat ini?
Kami percaya, opini WTP bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah alat ukur administratif yang belum menyentuh substansi pengelolaan fiskal. Maka, jika Pemerintah Kota Banda Aceh serius menjaga kepercayaan publik, maka komitmen terhadap rencana aksi harus dibuka dan dikawal bersama. DPRK, Inspektorat, LSM, akademisi, dan media harus diberi ruang untuk mengakses, memantau, dan mengevaluasi implementasinya.
Transparansi bukanlah opsi. Dalam demokrasi, ia adalah kewajiban. Utang publik adalah beban kolektif masyarakat. Maka publik berhak tahu sejauh mana janji-janji pemulihan fiskal itu dijalankan.
WTP di atas kertas tidak boleh menutupi utang yang nyata di atas kepala. Banda Aceh membutuhkan kejujuran fiskal, bukan sekadar prestise laporan keuangan.[Red]