Gerakan Ayah Mengantarkan Anak Sekolah di Hari Pertama: Niat Baik, Tapi Tak Semua Anak Punya Ayah

  • Bagikan

Oleh: Tim Redaksi Sosial Sarannews

Banda Aceh | sarannews – Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan baru saja mengeluarkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantarkan Anak Sekolah di Hari Pertama. Dalam SE tersebut, Bupati mengimbau agar seluruh ayah di Aceh Selatan mengantar anak-anak mereka secara serentak pada 14 Juli 2025, yakni hari pertama masuk sekolah Tahun Ajaran 2025/2026.

Tujuan dari gerakan ini memang tampak mulia: memperkuat kelekatan emosional ayah-anak, memperbaiki komunikasi dalam keluarga, serta menciptakan lingkungan belajar yang lebih suportif bagi anak. Namun, ketika publik menelaah lebih dalam, muncul satu pertanyaan tajam: bagaimana dengan anak-anak yang tidak memiliki ayah?

Psikologi Inklusi: Ketika Satu Kata Menyisakan Banyak yang Tertinggal

Dalam pandangan Michael E. Lamb, seorang profesor psikologi perkembangan dari University of Cambridge, pengasuhan yang baik tidak hanya datang dari ayah atau ibu, melainkan juga dari siapa pun yang menjadi significant caregiver dalam kehidupan anak, termasuk ibu tunggal, kakek, paman, atau wali pengganti. Dalam penelitiannya, Lamb menegaskan bahwa:

“Pengaruh terhadap perkembangan anak bukan berasal dari satu figur saja, tetapi dari relasi hangat yang berkelanjutan dengan siapapun yang secara konsisten hadir dan terlibat.” (Michael E. Lamb, The Role of the Father in Child Development)
Dengan demikian, frasa “Gerakan Ayah” dalam judul SE ini tidak mencerminkan kenyataan sosial mayoritas, dan secara tidak sadar mengecualikan anak-anak:

  • yang ditinggal wafat ayahnya (yatim),
  • yang berasal dari keluarga bercerai (anak tinggal bersama ibu)
  • yang ayahnya menjadi buruh migran di luar daerah atau luar negeri,
  • atau yang diasuh oleh wali karena sebab-sebab ekonomi atau sosial lainnya.
  • Anak yang yaitim Piatu yang diasuh di Panti Asuhan.

Risiko Luka Sosial dan Psikologis

Bagi anak-anak yang tidak bisa diantar oleh ayahnya, kebijakan ini dapat memperkuat:

  • Perasaan terasing dan tidak setara di tengah teman-teman yang hadir bersama figur ayah,
  • Stigma sosial implisit, karena mereka seolah tak memenuhi “standar keluarga ideal”,
  • Kecemasan psikologis, khususnya pada anak usia dini yang sangat sensitif terhadap simbol keterlibatan orang tua.

Hal ini bukan hanya teori. Dalam psikologi perkembangan anak, kelekatan (attachment) tidak dibentuk oleh gelar “ayah” atau “ibu” semata, tetapi dari figur pengasuh yang hadir, responsif, dan konsisten. Maka membatasi pengakuan hanya kepada “ayah” berisiko menciptakan luka identitas.

Dimensi Ekonomi yang Terabaikan

Kebijakan ini juga tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi riil masyarakat Aceh Selatan. Banyak ayah bekerja sebagai buruh harian, petani, atau pekerja migran. Meminta mereka pulang hanya untuk satu hari bisa berarti:

  • kehilangan penghasilan harian,
  • biaya logistik yang mahal,
  • atau bahkan dilema antara tanggung jawab ekonomi dan simbol peran ayah.

Dalam konteks ini, kebijakan yang tidak adaptif terhadap situasi ekonomi masyarakat hanya akan menjadi beban moral, bukan solusi psikososial.

Rekomendasi: Kebijakan Harus Inklusif dan Kontekstual

Berdasarkan pendekatan ilmiah dan keadilan sosial, sarannews merekomendasikan agar pemerintah:

  1. Mengubah istilah menjadi lebih inklusif, seperti: “Gerakan Keluarga Mengantar Anak Sekolah” atau “Pendamping Hari Pertama Sekolah”;
  2. Menyediakan alternatif partisipasi seperti surat motivasi dari orang tua, panggilan video, atau dukungan simbolik lain;
  3. Melibatkan sekolah dan guru untuk memahami kondisi keluarga murid secara personal dan menghindari pendekatan seragam yang bisa melukai.

Surat Edaran ini adalah cerminan niat baik yang patut diapresiasi, tetapi juga harus dievaluasi secara cermat agar tidak menyisakan luka bagi anak-anak yang tak punya ayah untuk hadir di hari pertama sekolah mereka.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal kehadiran simbolis seorang ayah, tetapi tentang kehadiran cinta, perhatian, dan dukungan dari siapa pun yang memilih untuk menjadi keluarga bagi seorang anak.(R)

Penulis: ZamzamiEditor: Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *