Jabatan Sekda Aceh Jangan Jadi Kompromi Politik

  • Bagikan

Oleh: Alizamzami
Ketua Umum Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI)

Pasca pelantikan 74 pejabat eselon II, III, dan IV oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf pada 19 Mei 2025 lalu, birokrasi Pemerintah Aceh belum sepenuhnya tenang. Kini berembus isu mutasi lanjutan yang konon akan dilakukan dalam waktu dekat. Sejumlah pejabat ASN di lingkungan Pemerintah Aceh disebut-sebut berada dalam kondisi “siaga satu”, bekerja dalam suasana tegang, penuh spekulasi, bahkan kasak-kusuk secara diam-diam.

Di tengah situasi yang tak menentu ini, satu posisi strategis juga menjadi perhatian publik: jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, yang saat ini masih dijabat oleh pelaksana tugas. Kabar berkembang menyebut bahwa ada dua nama yang tengah “digodok” untuk menduduki posisi definitif: satu berasal dari internal pemerintahan saat ini, satu lagi dari kalangan pejabat yang memiliki rekam jejak politik di masa lalu.

Saya ingin mengingatkan: jabatan Sekda bukanlah hadiah politik. Sekda adalah motor utama birokrasi. Ia adalah tangan kanan Gubernur dalam urusan tata kelola keuangan daerah, penyusunan kebijakan strategis, dan pelaksanaan program pembangunan. Maka, penunjukannya tidak boleh didasarkan pada pendekatan politis, afiliasi kelompok, atau balas jasa.

Bukan Soal Siapa, Tapi Soal Rekam Jejak dan Integritas

Kita tentu tak ingin birokrasi di Aceh dikendalikan oleh kepentingan yang tidak relevan dengan pelayanan publik. Jabatan Sekda bukan tempat kompromi kekuasaan, apalagi jika yang bersangkutan memiliki catatan kinerja yang diragukan atau pernah terlibat dalam persoalan hukum, langsung atau tidak langsung.

Dalam konteks ini, saya sependapat dengan pernyataan anggota DPRA, Zamzami, yang secara tegas mengusulkan agar calon Sekda Aceh adalah sosok yang berpengalaman dan tidak memiliki masalah hukum, seperti dimuat oleh SARANNEWS.NET (https://sarannews.net/anggota-dpra-zamzami-usulkan-sekda-aceh-yang-berpengalaman-dan-tidak-terkait-persoalan-hukum/).

Dukungan terhadap integritas dan profesionalisme ini bukan semata-mata soal moralitas, tetapi juga soal konstitusi dan tata kelola pemerintahan yang sehat. PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN telah menegaskan bahwa jabatan pimpinan tinggi harus diisi melalui seleksi terbuka, berbasis kompetensi, integritas, dan kinerja nyata.

Jika prinsip meritokrasi ini diabaikan, maka reformasi birokrasi di Aceh hanya akan menjadi jargon kosong.

Publik Harus Dilibatkan, Bukan Disisihkan

Seluruh proses seleksi Sekda harus dilakukan secara terbuka. Panitia seleksi harus independen dan melibatkan pengawasan dari publik, termasuk LSM, akademisi, Komisi ASN, hingga lembaga pengawas keuangan seperti BPKP. Sudah saatnya masyarakat sipil tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pengawas aktif.

Sebaliknya, jika proses ini dilakukan tertutup, tanpa publikasi nama-nama calon, tanpa keterangan kriteria penilaian, dan tanpa pelibatan lembaga pengawasan, maka wajar jika publik mencurigai ada agenda tersembunyi.

FORMAKI menyatakan siap melakukan pemantauan seleksi Sekda dan mutasi ASN. Kami tidak akan ragu untuk menyampaikan laporan resmi kepada KASN, BKN, dan bahkan KPK, jika terindikasi adanya praktik jual beli jabatan atau penyalahgunaan kewenangan dalam proses ini.

Saatnya Gubernur Tunjukkan Komitmen Tata Kelola

Gubernur Aceh punya momentum untuk menunjukkan bahwa era kepemimpinannya adalah era pemerintahan yang bersih, tegas, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Jangan biarkan jabatan Sekda yang seharusnya menjadi lokomotif reformasi birokrasi malah dikendalikan oleh kepentingan politik praktis.

Jika Gubernur sungguh berkomitmen menata Aceh, maka pengangkatan Sekda Aceh harus menjadi contoh dari integritas dan keterbukaan.

Birokrasi Aceh saat ini tidak butuh pejabat yang lihai berpolitik. Ia butuh pemimpin teknokratik yang jujur, kompeten, dan tahan uji.

Tentang Penulis:
Alizamzami adalah Ketua Umum Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI), aktif memantau dan mengadvokasi transparansi anggaran, reformasi birokrasi, dan pencegahan korupsi di Aceh.

Penulis: Mersal wandiEditor: Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *