SARANNEWS.NET | Banda Aceh – Hingga akhir Mei 2025, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) baru menyentuh angka 13,3 persen. Sementara itu, waktu terus berjalan. Pemerintah Aceh kini dikejar target ambisius: seluruh proses lelang harus rampung sebelum 30 Juni, dengan realisasi minimal mencapai 35 persen.
Di tengah desakan itu, Sarannews menelusuri persoalan mendasar yang membuat miliaran rupiah uang rakyat tak kunjung menyentuh sektor-sektor vital. Dari dokumen internal, testimoni pejabat pelaksana, hingga pantauan lapangan, investigasi ini mengungkap bahwa masalah bukan hanya pada sistem, tapi juga pada pola kepemimpinan, koordinasi yang minim, serta potensi praktik pengadaan yang dipaksakan demi mengejar angka.
“Kita sudah sepakat, 30 Juni semua lelang harus selesai,” tegas Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, dalam Rapat Pimpinan Pemerintah Aceh, Senin (23/6/2025). Namun, di lapangan, banyak SKPA belum sepenuhnya siap. Beberapa proyek bahkan belum memiliki perencanaan detail, dokumen tender belum rampung, dan penunjukan pejabat pelaksana masih simpang siur.
Fakta ini memunculkan pertanyaan besar: apakah percepatan ini solusi atau justru jebakan anggaran? Di tengah krisis kepercayaan publik dan sorotan Menteri Dalam Negeri, Aceh berisiko jatuh dalam perangkap pengadaan instan yang rawan diwarnai markup, pengkondisian pemenang, bahkan proyek fiktif.
- Serapan Minim, Ekonomi Lesu
Data resmi yang diperoleh Sarannews, dari sumber internal Biro Keuangan Pemerintah Aceh menunjukkan bahwa hingga 31 Mei 2025, realisasi belanja APBA hanya 13,3 persen. Padahal, total pagu APBA 2025 mencapai Rp 11,07 triliun.
Keterlambatan ini berimbas langsung pada layanan publik dan perputaran ekonomi daerah. Di sektor kesehatan, sejumlah rumah sakit mengaku belum menerima alokasi belanja barang habis pakai. Di bidang infrastruktur, proyek jalan kabupaten, jembatan penghubung, dan pengadaan alat berat belum menunjukkan tanda-tanda dimulai. Sementara di lapangan, para pelaku UMKM dan kontraktor lokal menjerit karena dana-dana proyek belum mengalir.
- Gubernur Menekan, Tapi Birokrasi Tertinggal
Rapat Pimpinan Pemerintah Aceh yang digelar pada 23 Juni 2025 menjadi titik balik. Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) meminta seluruh SKPA bergerak cepat. Ia menegaskan, semua hambatan harus dilaporkan langsung kepada Sekda agar bisa ditangani secara cepat. Wakil Gubernur pun menargetkan realisasi 35,5 persen harus tercapai pada akhir Juni, yang hanya menyisakan waktu seminggu lagi.
Namun, sejumlah sumber di internal SKPA yang ditemui Sarannews menyatakan bahwa tekanan waktu tersebut tidak realistis.
“Sebagian besar DPA memang baru efektif akhir Februari. Tapi proses review ulang RKA, SIRUP, hingga penunjukan pejabat pengadaan memakan waktu lagi. Apalagi banyak kepala SKPA baru menjabat pasca mutasi awal tahun,” ujar salah seorang pejabat yang meminta identitasnya dirahasiakan.
III. Lelang Dikebut, Rawan Praktik Pengkondisian
Data monitoring LPSE Aceh menunjukkan lonjakan aktivitas tender menjelang akhir Juni. Banyak paket proyek diumumkan secara bersamaan, dan tenggat waktu penawaran dibuat sangat pendek.
Kondisi ini membuka peluang pengkondisian proyek, karena waktu yang terbatas membuat peserta lelang tidak memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan dokumen penawaran secara layak. Beberapa proyek bernilai besar juga tidak mencantumkan detail pekerjaan yang memadai di dalam dokumen pengadaan.
“Beberapa tender besar langsung tayang di akhir Juni. Ada indikasi pemenangnya sudah disiapkan dari awal,” kata sumber di salah satu asosiasi jasa konstruksi di Aceh.
Sarannews juga menemukan ada proyek pengadaan barang di sektor pendidikan senilai miliaran rupiah yang tayang di LPSE tetapi dibatalkan tiba-tiba tanpa alasan jelas.
- Birokrasi Lemah: Kepala SKPA Tak Siap Hadapi Tekanan Target
Masalah realisasi APBA 2025 ternyata bukan hanya disebabkan oleh proses politik di awal tahun, tetapi juga karena lemahnya manajemen birokrasi. Banyak kepala SKPA belum memiliki pemahaman teknis dan manajerial yang memadai untuk mengelola anggaran besar.
Seorang pengamat kebijakan publik dari Universitas Syiah Kuala menyebutkan:
“Mutasi kepala SKPA beberapa bulan lalu justru tidak menyelesaikan masalah. Sebagian hanya rotasi politik, bukan berbasis kompetensi teknis. Ini membuat perencanaan dan eksekusi program jadi lemah.”
- APBA Jadi Alat Politik?
Dengan Gubernur Muzakir Manaf menjabat sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Aceh yang menguasai mayoritas kursi di DPRA, publik menaruh harapan besar pada stabilitas politik dan kelancaran pengelolaan APBA. Namun kenyataannya, kendala struktural di tingkat eksekutif tetap berulang.
Faktanya, proyek-proyek prioritas belum bergerak, sementara elite politik lebih banyak bersuara di forum formal ketimbang turun langsung menyelesaikan hambatan teknis di lapangan.
- Rekomendasi Transparansi dan Investigasi Publik
Sarannews merekomendasikan:
- Pembukaan dashboard realisasi per SKPA secara real-time agar publik bisa ikut mengawasi;
- Audit khusus BPKP atau Inspektorat Daerah terhadap proses percepatan lelang dan realisasi proyek strategis;
- Evaluasi menyeluruh terhadap kepala SKPA yang realisasinya rendah dan lambat menindaklanjuti hasil rapat pimpinan;
- Monitoring independen oleh masyarakat sipil dan media terhadap proyek pengadaan, khususnya sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
PENUTUP: Antara Desakan Target dan Tanggung Jawab Nyata
Perlambatan realisasi APBA 2025 bukan sekadar masalah administratif. Ia mencerminkan rapuhnya sistem manajemen pemerintahan, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan minimnya sense of urgency di level eksekutif.
Di sisi lain, tekanan untuk mengejar angka realisasi dalam waktu singkat menimbulkan ancaman baru: pengadaan terburu-buru, pengkondisian proyek, dan pengabaian akuntabilitas. Jika ini terjadi, maka uang rakyat yang seharusnya menggerakkan ekonomi justru berpotensi menjadi sumber kerugian negara.
Pemerintah Aceh memang sedang berpacu dengan waktu. Tapi publik berhak tahu: apakah percepatan itu benar-benar solutif, atau justru menutup-nutupi persoalan struktural yang selama ini dibiarkan?
Waktunya Gubernur dan seluruh jajarannya bukan hanya menuntut percepatan, tapi juga memastikan akuntabilitas anggaran berjalan seiring. Realisasi bukan semata soal persentase, tapi dampaknya terhadap rakyat Aceh yang menanti program-program menyentuh langsung kebutuhan dasar mereka, dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
Di tengah krisis kepercayaan dan tekanan ekonomi global, Aceh butuh transparansi, kepemimpinan kuat, dan kemauan politik untuk mereformasi birokrasi anggaran. Bukan sekadar rapat dan target angka.
Catatan Redaksi SARANNEWS.NET:
Laporan ini akan berlanjut dalam serial liputan mendalam yang akan mengulas:
- SKPA dengan serapan anggaran terendah;
- Proyek-proyek mangkrak dan yang rawan penyimpangan;
- Potret lapangan realisasi APBA di sektor strategis;
- Tinjauan hukum terhadap potensi penyalahgunaan percepatan pengadaan.
Kami mengundang pembaca, masyarakat sipil, dan pengambil kebijakan untuk ikut mengawasi dan berkontribusi dalam pengungkapan fakta demi mendorong pemerintahan Aceh yang lebih terbuka dan bertanggung jawab.