Mewaspadai Anomali Anggaran di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Aceh

  • Bagikan
Gbr Doc RSUDZA

Sebagai rumah sakit rujukan utama di Provinsi Aceh dan lembaga pelayanan publik dengan status Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), RSUD Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh seyogianya menjadi contoh ideal dalam tata kelola anggaran yang efisien, transparan, dan berpihak pada peningkatan mutu layanan kesehatan masyarakat. Namun, hasil penelusuran investigatif terbaru oleh LSM FORMAKI (Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) justru menunjukkan sebaliknya: indikasi kuat adanya belanja tak wajar hingga potensi penyalahgunaan anggaran dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) Tahun Anggaran 2025.

Dengan total indikasi anomali mencapai lebih dari Rp316 miliar, sejumlah pos belanja memantik tanda tanya besar. Sebut saja belanja “Jasa Kantor Umum” senilai hampir Rp295 miliar, yang tak dijelaskan secara rinci bentuk dan manfaatnya bagi pelayanan kesehatan. Atau pengadaan videotron senilai Rp3 miliar yang secara logika tak berkorelasi langsung dengan urgensi pelayanan medis di rumah sakit tipe A.

Ada pula anggaran besar untuk makan minum rapat dan jamuan tamu (Rp3,6 miliar), pelatihan dan perjalanan dinas (Rp5,8 miliar), serta pengadaan buka puasa dan souvenir pegawai, yang jika tidak dikawal bisa menjadi celah pemborosan atau bahkan gratifikasi terselubung. Tak kalah mengherankan, pengadaan alat pendingin gedung yang dilakukan secara terpisah (split budget) juga menimbulkan dugaan rekayasa belanja agar lolos dari mekanisme pengadaan yang ketat.

Kami memandang serius temuan-temuan ini. Dalam konteks sistem BLUD yang memberi fleksibilitas keuangan kepada RSUD, pengawasan publik menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ketika fleksibilitas tanpa kontrol berubah menjadi celah manipulasi, maka yang dikorbankan adalah hak publik atas layanan kesehatan yang layak dan efisien.

Pemerintah Aceh, khususnya Inspektorat dan Dinas Kesehatan, harus segera melakukan audit investigatif menyeluruh terhadap anggaran RSUDZA. Klarifikasi terbuka harus diberikan kepada publik, tidak cukup hanya di ruang rapat atau meja birokrat. Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka pelaporan kepada aparat penegak hukum menjadi langkah yang tak bisa ditunda.

Skandal anggaran pada sektor kesehatan bukan sekadar soal angka, melainkan soal nyawa. RSUDZA bukan milik segelintir manajemen, tapi milik seluruh rakyat Aceh yang mempercayakan hidup dan matinya di sana.

Saatnya Aceh belajar menempatkan transparansi sebagai jantung dari setiap pelayanan publik. Dan itu harus dimulai dari lembaga kesehatan paling vital di daerah ini.

 

📝 Catatan Redaksi:

Tajuk ini disusun berdasarkan laporan investigatif awal LSM FORMAKI dan dokumen publik RUP BLUD RSUDZA Banda Aceh Tahun Anggaran 2025. Redaksi membuka ruang hak jawab, sanggahan, atau klarifikasi dari pihak RSUDZA, Dinas Kesehatan Aceh, maupun Pemerintah Aceh untuk keberimbangan informasi.

Penulis: Mersal WandiEditor: Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *