Oleh: Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI)
Pemerintah Kota Subulussalam kembali menjadi sorotan tajam. Bukan karena prestasi atau inovasi kebijakan, melainkan karena kegagalan struktural dalam mengelola keuangan daerah yang berdampak luas terhadap pelayanan publik dan perekonomian rakyat.
Data resmi dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa hingga awal Mei 2025, realisasi belanja APBK Subulussalam baru mencapai 7,38%. Ini bukan sekadar angka, ini adalah simbol kelumpuhan birokrasi. Anggaran yang seharusnya menggerakkan roda ekonomi, membayar gaji perangkat kampung, membiayai pendidikan dan kesehatan, justru mengendap tak terpakai di rekening kas daerah.
Lebih miris lagi, ancaman pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) hingga 50% dari pos Spesific Grant (SG) kini menggantung di atas kepala Pemko Subulussalam. Bila realisasi SG tak kunjung selesai hingga batas waktu 30 Juni 2025, maka rakyatlah yang harus membayar mahal akibat kelalaian ini.
Pemerintah Gagal, DPRK Menjerit Tapi Mandul
Kritik keras dari anggota DPRK Subulussalam, Hasbullah SKM MKM, yang menyebut Walikota “tidak becus mengelola anggaran” adalah pernyataan yang benar, namun datang terlambat dan tidak solutif. DPRK adalah bagian dari sistem yang menyetujui dan mengesahkan APBK. Ketika realisasi mandek, mereka seharusnya menjadi penjaga gawang, bukan sekadar komentator.
Lebih buruk, konflik antara Walikota dan legislatif kini terjebak dalam tarik-ulur alokasi anggaran. Pemerintah menuduh DPRK bermain dalam porsi SG Infrastruktur, sementara legislatif menuding eksekutif lalai dan tidak serius. Saling menyalahkan ini justru memperkuat asumsi publik bahwa kedua lembaga ini telah gagal menjalankan amanah rakyat.
Utang Membengkak, Transparansi Menghilang
Satu hal yang luput dari perhatian: beban utang Pemerintah Kota Subulussalam yang mencapai Rp 241-244 miliar. Ini angka yang fantastis untuk ukuran daerah kecil seperti Subulussalam. Namun hingga kini, tidak pernah ada penjelasan publik yang komprehensif tentang asal usul utang ini, peruntukannya, serta rencana pelunasannya.
Mengelola utang bukan perkara tabu. Tapi menyembunyikan informasinya dari rakyat adalah pengkhianatan terhadap prinsip transparansi. FORMAKI menuntut agar Pemerintah Kota dan DPRK segera membuka audit lengkap beban utang daerah untuk mencegah dugaan penyimpangan dan pemborosan.
Rakyat Menunggu Kerja Nyata, Bukan Narasi Politik
“Kami mengingatkan bahwa krisis ini bukan semata urusan teknis, tapi sudah menyentuh akar kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya. Para pedagang kecil di pasar, pelaku UMKM, tenaga honorer, guru dan perangkat kampung, mereka semua menunggu, bukan janji, tapi tindakan,”sebut Ali Zamzami.
Jika pemerintah daerah terus bermain aman dengan alasan “kondisi kompleks” dan “tidak bisa diuraikan”, maka FORMAKI akan melangkah lebih jauh. Kami akan menyusun laporan resmi ke Kemendagri, KPK, dan Ombudsman RI atas dugaan kelalaian tata kelola keuangan daerah dan potensi kerugian negara.
Tegakkan Integritas atau Tinggalkan Jabatan
“Kepada Walikota dan TAPK Subulussalam, kami ingatkan. jabatan publik bukan untuk diselamatkan, tetapi untuk dipertanggungjawabkan. Bila tidak mampu mengeksekusi anggaran secara tepat waktu, transparan, dan akuntabel, maka yang paling terhormat adalah mundur,”ungkap Ali Zamzami.
Begitu pula kepada DPR Kota Subulussalam jangan berlindung di balik mikrofon rapat dan media massa, sementara fungsi pengawasan Anda tumpul. Rakyat tidak butuh teater konflik, rakyat butuh solusi konkret.
Ali Zamzami menyebutkan FORMAKI akan terus mengawal, mengungkap, dan mendesak perubahan. Karena satu hal yang pasti.
“kita tidak boleh membiarkan rakyat dikhianati oleh pemerintahnya sendiri”tutup Ali Zamzami.