Mengenal Dua Metode Menentukan Awal Bulan Ramadhan

  • Bagikan

Banda Aceh|SaranNews – Perbedaan penentuan awal Ramadan di Indonesia sering kali menimbulkan perdebatan, terutama antara Muhammadiyah dan pemerintah.

Hal ini disebabkan oleh penggunaan dua metode utama, yaitu rukyatul hilal dan hisab hakiki wujudul hilal, yang masing-masing memiliki landasan dan pendekatan yang berbeda.

Untuk memahami lebih jauh, berikut adalah penjelasan mendalam mengenai kedua metode tersebut.

Metode Rukyatul Hilal

Rukyatul hilal adalah metode penentuan awal Ramadan berdasarkan pengamatan langsung terhadap bulan sabit pertama (hilal). Metode ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

“Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Syaban menjadi 30 hari” (HR Bukhari dan Muslim, hadits no. 1776).

Mengutip Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) pada Kamis, 13 Februari 2025, ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban puasa hanya dapat ditetapkan dengan melihat hilal atau dengan menggenapkan bulan Syaban menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat.

Pengamatan hilal dilakukan pada hari ke-29 bulan berjalan. Jika hilal terlihat, maka keesokan harinya adalah awal bulan baru. Namun, jika tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal).

Posisi bulan harus berada minimal dua derajat di atas matahari untuk dapat terlihat, dengan jarak elongasi yang cukup dari matahari ke arah kanan atau kiri.

Melansir Baznas, hilal adalah lengkungan bulan sabit paling tipis yang berkedudukan pada ketinggian rendah di atas ufuk barat setelah matahari terbenam (ghurub).

Observasi dilakukan dengan tiga metode utama: mata telanjang, alat optik seperti teleskop, atau alat optik yang terhubung dengan sensor/kamera.

Dari metode ini, hilal dapat diamati secara langsung, melalui citra teleskop, atau dengan kasatmata citra digital. Metode ini memastikan hasil observasi yang lebih akurat, terutama dengan bantuan teknologi modern.

Rukyatul hilal juga didukung oleh prinsip istikmal, yaitu penggenapan jumlah hari dalam bulan berjalan jika hilal tidak terlihat.

Metode ini dilandasi oleh sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa umat Islam adalah umat yang ummi, tidak mengenal tulis-menulis atau hisab, sehingga penentuan bulan dilakukan berdasarkan observasi visual sederhana.

Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”

Sejarah pelaksanaan rukyatul hilal di Indonesia menunjukkan bahwa metode ini telah digunakan sejak awal masuknya Islam di Nusantara. Pada awalnya, observasi dilakukan dengan mata telanjang.

Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, penggunaan teknologi seperti teleskop modern dan perangkat digital semakin diadopsi untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi observasi.

Meski begitu, rukyatul hilal tetap membutuhkan perhitungan hisab sebagai alat bantu untuk memprediksi waktu terbaik melakukan observasi.

Metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal

Metode hisab hakiki wujudul hilal menggunakan perhitungan astronomis untuk menentukan posisi bulan baru. Tiga kriteria utama dalam metode ini adalah:

1. Terjadi ijtimak (konjungsi).
2. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam.
3. Piringan atas bulan berada di atas ufuk saat matahari terbenam.

Ijtimak adalah istilah dalam astronomi yang merujuk pada posisi sejajar antara bulan dan matahari di satu garis lurus, seperti yang dilihat dari bumi.

Peristiwa ini menandakan fase bulan baru, di mana bulan tidak terlihat dari bumi karena piringan bulan yang menghadap ke bumi tidak menerima sinar matahari.

Jika ketiga kriteria ini terpenuhi, maka malam tersebut dan esok harinya dianggap sebagai awal bulan baru, meskipun hilal tidak terlihat secara fisik.

Mengutip Baznas pada Kamis, 13 Februari 2025, metode hisab ini digunakan oleh Muhammadiyah berdasarkan pemahaman bahwa keberadaan hilal yang terhitung sudah cukup untuk menetapkan awal bulan hijriyah.

Dasar penggunaan metode ini juga ditemukan dalam surat Yasin ayat 39-40:

“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.

Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”

Melansir Baznas, metode hisab hakiki wujudul hilal memanfaatkan data astronomis yang dihitung secara akurat berdasarkan pergerakan benda langit.

Hal ini melibatkan posisi relatif matahari, bulan, dan bumi. Ketelitian dalam penghitungan ini menjadi penting untuk memastikan bahwa awal bulan baru ditentukan secara presisi, sehingga ibadah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan agama.

Hisab hakiki wujudul hilal juga didukung oleh perkembangan perangkat lunak astronomi modern, yang memungkinkan perhitungan dilakukan dengan cepat dan akurat.

Misalnya, perangkat lunak tersebut dapat menghitung waktu ijtimak, ketinggian bulan, serta posisi bulan dan matahari secara relatif.

Menurut buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”, hisab tidak hanya digunakan untuk menentukan awal Ramadan, tetapi juga digunakan untuk berbagai keperluan ibadah lain, seperti menentukan waktu salat, arah kiblat, dan awal bulan-bulan hijriyah lainnya. Hal ini menegaskan bahwa metode hisab telah menjadi bagian integral dalam kehidupan umat Islam modern.

Para ulama juga menekankan pentingnya memahami dasar-dasar hisab agar tidak terjadi salah tafsir atau kekeliruan dalam pelaksanaannya.

Oleh karena itu, Muhammadiyah dan lembaga-lembaga lain yang menggunakan metode hisab secara rutin mengadakan pelatihan dan kajian untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang metode ini.

Penerapan di Indonesia

Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menggabungkan kedua metode ini dalam menentukan awal Ramadan.

Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah mengatur bahwa keputusan didasarkan pada hasil sidang isbat yang mempertimbangkan rukyatul hilal dan hisab.

Sidang isbat dilaksanakan di berbagai titik pemantauan hilal di seluruh Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Dirjen Bimas Islam Abu Rokhmad, sidang ini terdiri dari tiga tahapan utama: pemaparan data posisi hilal berdasarkan hisab, verifikasi hasil rukyatul hilal, dan musyawarah untuk mengambil keputusan. Hasil sidang kemudian diumumkan kepada publik sebagai pedoman awal Ramadan.

Berdasakan Kementerian Agama (Kemenag) pada Kamis, 13 Februari 2025, ijtimak awal Ramadan 1446 H akan terjadi pada Jumat, 28 Februari 2025, sekitar pukul 07.44 WIB, dengan ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia berada di atas ufuk.

Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa hilal dapat terlihat secara astronomis. Pemantauan hilal dilakukan oleh Kemenag bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kemenag di berbagai daerah, dengan melibatkan ormas Islam, ahli falak, dan BMKG untuk memastikan validitas hasil. Kemenag akan melakukan sidang Isbat di hari yang sama, yaitu 28 Februari 2025.

Sementara itu, Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan 1446 H jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Keputusan ini diambil berdasarkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang digunakan Muhammadiyah, yang menetapkan bahwa hilal sudah memenuhi kriteria untuk memulai Ramadan pada tanggal tersebut.

Dengan memahami kedua metode ini, umat Islam dapat lebih menghargai perbedaan yang ada dan mempersiapkan diri menjalankan ibadah Ramadan sesuai ajaran agama.

Pengetahuan tentang rukyatul hilal dan hisab hakiki wujudul hilal juga memberikan wawasan mengenai pentingnya integrasi ilmu agama dan sains dalam menentukan waktu-waktu ibadah.***

Sumber : Baznas

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *