Kenaikan Harga Emas Dengan Tradisi Mahar di Aceh dan Dampaknya Terhadap Generasi Muda Serta Perlindungan Perempuan

  • Bagikan
Gusmawi Mustafa (Mantan Camat Di Aceh Selatan)

Aceh memiliki tradisi pernikahan yang erat kaitannya dengan pemberian mahar emas. Sebagai simbol keseriusan dan tanggung jawab seorang laki-laki dalam membangun rumah tangga, mahar emas telah menjadi bagian dari budaya yang dihormati secara turun-temurun.

Namun, kenaikan harga emas yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir menghadirkan tantangan besar bagi pemuda yang ingin menikah, terutama di tengah melemahnya kondisi ekonomi masyarakat.

Kenaikan harga emas bukan hanya sekadar kenaikan nominal, tetapi juga berdampak langsung pada calon pengantin pria di Aceh. Dalam tradisi pernikahan di Aceh, mahar biasanya dihitung dalam satuan mayam (sekitar 3,33 gram emas per mayam). Meski nilai emas terus bertambah, jumlah mayam yang ditetapkan sebagai mahar dalam pernikahan tidak mengalami penyesuaian.

Akibatnya, calon pengantin pria harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya untuk memenuhi jumlah mayam yang telah menjadi standar adat di masing-masing daerah. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, di mana kebutuhan hidup terus meningkat, beban ini semakin terasa berat.

Di sisi lain, berbagai prosesi adat dan tradisi pernikahan tetap dijalankan tanpa adanya penyesuaian dengan kondisi ekonomi. Mulai dari tunangan, peusijuek (prosesi adat sebelum pernikahan), pesta pernikahan, hingga adat intat linto (prosesi mengantar pengantin pria ke rumah mempelai wanita), semuanya memerlukan biaya yang tidak sedikit.  Akumulasi biaya dari mahar dan prosesi adat ini menjadikan pernikahan semakin sulit dijangkau oleh banyak pasangan muda.

Ketidakmampuan Menikah dan Potensi Dampaknya terhadap Perempuan

Kondisi ini menyebabkan semakin banyak pemuda menunda pernikahan karena tidak mampu memenuhi standar mahar yang telah ditetapkan secara adat. Namun, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan.

Di Aceh, pernikahan bukan sekadar ikatan cinta, tetapi juga bentuk perlindungan sosial bagi perempuan. Ketika pernikahan semakin sulit dijangkau akibat faktor ekonomi, potensi meningkatnya hubungan di luar nikah menjadi ancaman nyata.

Dalam banyak kasus, kondisi ini bisa berujung pada eksploitasi perempuan, hubungan tanpa kepastian hukum, hingga meningkatnya risiko kekerasan seksual.

Perempuan yang telah menjalin hubungan tetapi tertunda pernikahannya karena faktor biaya mahar juga dapat mengalami tekanan psikologis dan stigma sosial.

Lebih jauh, dalam beberapa kasus ekstrem, kondisi ini bisa mendorong praktik pernikahan tanpa perlindungan hukum yang jelas, yang pada akhirnya justru merugikan perempuan itu sendiri.

Ancaman terhadap Peningkatan Kekerasan terhadap Perempuan

Ketimpangan ekonomi sering kali berkorelasi dengan meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. Ketika laki-laki mengalami tekanan ekonomi berkepanjangan, stres dan frustrasi yang meningkat bisa berujung pada perilaku agresif terhadap pasangan atau perempuan di sekitarnya.

Selain itu, ketidakmampuan ekonomi dalam memenuhi mahar juga dapat mendorong praktik pernikahan dengan sistem utang mahar atau mahar yang dibayarkan kemudian.

Dalam beberapa kasus, praktik ini melemahkan posisi perempuan dalam rumah tangga karena dianggap “berutang” kepada suami atau keluarganya, sehingga lebih rentan terhadap ketidakadilan dan kekerasan domestik.

Diperlukan Peninjauan Kembali Besaran Mahar dengan Tetap Menjaga Marwah dan Martabat Perempuan

Dengan terus meningkatnya harga emas, diperlukan solusi konkret dari pihak-pihak berwenang untuk meninjau kembali penetapan besaran mahar emas yang selama ini berlaku.

Langkah ini harus dilakukan dengan tetap menjaga marwah serta harkat dan martabat perempuan, sehingga nilai simbolis mahar tetap dihormati tanpa menjadi beban yang terlalu berat bagi calon pengantin pria.

Dalam proses peninjauan ini, penting bagi unsur adat, ulama, dan pemerintah untuk duduk bersama guna mencari titik tengah yang adil dan bijaksana. Mahar sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan tetap harus dipertahankan, tetapi dengan mekanisme yang lebih fleksibel dan realistis sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.

Penyesuaian besaran mahar tidak boleh dianggap sebagai bentuk penurunan nilai perempuan, tetapi justru sebagai upaya untuk memastikan bahwa pernikahan tetap bisa diakses oleh banyak pasangan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi keluarga di masa depan. Dengan demikian, adat dan tradisi tetap terjaga, sementara kesejahteraan dan perlindungan perempuan juga tetap menjadi prioritas utama.

Dibutuhkan Riset Mendalam sebagai Dasar Rekomendasi Solusi

Untuk mencapai solusi yang tepat guna dan berkelanjutan, dibutuhkan riset yang lebih mendalam terkait dampak kenaikan harga emas terhadap pernikahan dan dinamika sosial masyarakat. Riset ini harus mencakup berbagai aspek, mulai dari kondisi ekonomi calon pengantin, kebijakan mahar dalam adat Aceh, hingga dampak sosial yang mungkin terjadi, termasuk potensi peningkatan kekerasan terhadap perempuan.

Hasil riset ini nantinya dapat menjadi dasar bagi berbagai rekomendasi kebijakan yang berimbang, baik dari segi budaya maupun ekonomi. Dengan adanya data yang kuat, solusi yang diambil dapat lebih tepat sasaran dan memiliki peluang lebih besar untuk segera diimplementasikan.

Menghindari Perlombaan Jumlah Mahar di Masyarakat

Selain peninjauan besaran mahar, yang juga harus dihindari adalah munculnya kembali perlombaan jumlah mahar di masyarakat. Dalam beberapa kasus, persaingan sosial terkait besaran mahar sering kali membuat standar mahar semakin tinggi dan sulit dijangkau oleh banyak calon pengantin.

Penting bagi semua pihak, termasuk keluarga, tokoh adat, dan masyarakat secara umum, untuk memahami bahwa mahar bukanlah sekadar ajang gengsi atau simbol status sosial.

Jika tren perlombaan jumlah mahar kembali terjadi, maka tujuan utama pernikahan sebagai sarana membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah bisa tergeser oleh faktor material semata.

Masyarakat harus lebih bijak dalam menyikapi tradisi ini dengan mengutamakan esensi pernikahan yang sesungguhnya, yakni membangun kehidupan bersama yang harmonis dan berlandaskan kasih sayang, bukan sekadar memenuhi tuntutan materi yang semakin tidak realistis.

Kesimpulan: Menjaga Tradisi, Meringankan Generasi Muda, dan Melindungi Perempuan

Menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan berbasis solusi nyata. Masyarakat, terutama para tokoh adat dan agama, perlu mempertimbangkan kebijakan mahar yang lebih adaptif dengan kondisi ekonomi saat ini, tanpa menghilangkan nilai luhur dari tradisi tersebut.

Pemerintah dan lembaga terkait juga harus berperan aktif dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan dan calon pengantin yang terdampak oleh kenaikan harga emas. Edukasi tentang pernikahan yang lebih sederhana, bantuan ekonomi bagi pasangan muda, serta upaya menghindari eksploitasi perempuan dalam pernikahan harus terus diperkuat.

Pernikahan bukan hanya soal tradisi dan materi, tetapi tentang kesiapan, tanggung jawab, dan perlindungan terhadap pasangan, terutama perempuan.

Sudah saatnya masyarakat Aceh melihat persoalan ini secara lebih bijak agar tradisi tetap terjaga tanpa menjadi beban yang justru merugikan generasi muda dan perempuan.

Penulis :  Gusmawi Mustafa

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *